Jumat, 25 Mei 2012

surat Al- kahfi

Dr. Sa’id bin Shalih ar-Raqib telah membahas tiga buah hadits tentang keutamaan membaca surat Al-Kahfi pada hari atau malam Jum’at. Hasil kajian menunjukkan bahwa ketiga hadits tersebut sangat lemah dan tidak bisa dijadikan dalil dalam beramal.
Dalam artikel kali ini, beliau menguraikan hadits keempat yang merupakan hadits terakhir dalam masalah keutamaan membaca surat Al-Kahfi pada hari atau malam Jum’at. Bagaimana derajat hadits terakhir ini? Silahkan menyimak penjelasan beliau.
***
Hadits terakhir yang menyebutkan keutamaan membaca surat Al-Kahfi pada hari atau malam Jum’at diriwayatkan dari sahabat Abu Sa’id al-Khudri RA.
مَنْ قَرَأَ سُورَةَ الْكَهْفِ فِي يَوْمِ الْجُمُعَةِ أَضَاءَ لَهُ مِنَ النُّورِ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْبَيْتِ الْعَتِيقِ
Barangsiapa membaca surat al-Kahfi pada malam Jum’at, niscaya aka nada cahaya terang yang menyinari antara dirinya dengan baitul ‘atiq (Ka’bah).”
Hadits ini hanya memiliki satu sanad, yaitu Abu Sa’id al-Khudri meriwayatkannya kepada Qais bin Abbad, lalu Qais bin Abbad meriwayatkannya kepada Abu Mijlaz, lalu Abu Mijlaz meriwayatkannya kepada Abu Hasyim Ar-Rumani.
Inilah satu-satunya jalur sanad hadits ini. Lalu Abu Hasyim Ar-Rumani meriwayatkan hadits ini kepada tiga orang perawi: Husyaim bin Basyir, Syu’bah bin Hajjaj, dan Sufyan ats-Tsauri. Dari Abu Hasyim Ar-Rumani terjadilah perbedaan matan (teks bunyi) hadits. Dan dari tiga perawi setelahnya tersebut terjadilah perbedaan matan dan sanad (jalur periwayatan) hadits ini. Dan dari sinilah terjadi perbedaan pendapat para ulama tentang keshahihan dan kedha’ifan hadits ini.

Jalur periwayatan Husyaim bin Basyir

Jalur Husyaim bin Basyir diperselisihkan dalam tiga jalan periwayatan:
Pertama, riwayat Husyaim bin Basyir dari Abu Hasyim ar-Rumani dari Abu Mijlaz dari Qais bin Abbad dari Abu Sa’id al-Khudri RA dari Nabi Muhammad SAW. Riwayat ini marfu’ (bersambung sampai Nabi Muhammad SAW).
Adapun perawi yang meriwayatkan dari jalur Husyaim bin Basyir yang marfu’ ini adalah:
  1. Nu’aim bin Hammad al-Marwazi.
    Hadits dari jalur ini dikeluarkan oleh imam Al-Hakim dalam al-Mustadrak (2/399) dan darinya imam Al-Baihaqi mengeluarkan dalam as-Sunan al-Kubra (3/249) dan as-Sunan as-Shaghir (2/42 no. 470) dengan lafal:
    إِنَّ مَنْ قَرَأَ سُورَةَ الْكَهْفِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَضَاءَ لَهُ مِنَ النُّورِ مَا بَيْنَ الْجُمُعَتَيْنِ
    Sesungguhnya barangsiapa membaca surat al-Kahfi pada hari Jum’at, niscaya akan ada cahaya terang yang menyinari dirinya di antara kedua Jum’at. (HR. Al-Hakim dan Al-Baihaqi)
  2. Yazid bin Makhlad
    Hadits dari jalur ini dikeluarkan oleh imam Al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman (2/475 no. 2445) dan Fadhail al-Awqat hlm. 502 no. 279, dengan lafal:
    مَنْ قَرَأَ سُورَةَ الْكَهْفِ فِي يَوْمِ الْجُمُعَةِ أَضَاءَ لَهُ مِنَ النُّورِ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْبَيْتِ الْعَتِيقِ
    Barangsiapa membaca surat al-Kahfi pada malam Jum’at, niscaya akan ada cahaya terang yang menyinari antara dirinya dengan baitul ‘atiq (Ka’bah). (HR. Al-Baihaqi)
Kedua, riwayat Husyaim bin Basyir dari Abu Hasyim ar-Rumani dari Abu Mijlaz dari Qais bin Abbad dari Abu Sa’id al-Khudri RA. Riwayat ini mauquf (berupa perkataan sahabat Abu Said Al-Khudri RA, bukan sabda Nabi Muhammad SAW). Dengan lafal: hari Jum’at.
Adapun perawi yang meriwayatkan dari jalur Husyaim bin Basyir yang mauquf ini adalah:
  1. Sa’id bin Manshur
    Hadits dari jalur ini dikeluarkan oleh imam Sa’id bin Manshur dalam kitabnya As-Sunan dan darinya imam Al-Baihaqi mengeluarkan dalam Syu’ab al-Iman (2/474 no. 2444) dan As-Sunan Al-Kubra, dengan lafal:
    Barangsiapa membaca surat al-Kahfi pada malam Jum’at, niscaya aka nada cahaya terang yang menyinari antara dirinya dengan baitul ‘atiq (Ka’bah). (HR. Sa’id bin Manshur dan Al-Baihaqi)
  2. Ahmad bin Khalaf al-Baghdadi
    Hadits dari jalur ini dikeluarkan oleh imam Ibnu Dhurais dalam kitabnya Fadhail Al-Qur’an no. 205 dan darinya imam Al-Khatib al-Baghdadi mengeluarkan dalam Tarikh Baghdad (4/134) dengan lafal:
    Barangsiapa membaca surat al-Kahfi pada malam Jum’at, niscaya aka nada cahaya terang yang menyinari antara dirinya dengan baitul ‘atiq (Ka’bah). (HR. Ibnu Dhurais dan Al-Khatib al-Baghdadi)
  3. Abu Ubaid al-Qasim bin Salam
    Hadits dari jalur ini dikeluarkan oleh imam Abu Ubaid al-Qasim bin Salam dalam kitabnya Fadhail Al-Qur’an no. 380 dan darinya imam Adz-Dzahabi mengeluarkan dalam Tarikh Al-Islam (6/37) dengan lafal:
    Barangsiapa membaca surat al-Kahfi pada malam Jum’at, niscaya akan ada cahaya terang yang menyinari antara dirinya dengan baitul ‘atiq (Ka’bah). (HR. Abu Ubaid al-Qasim bin Salam dan Adz-Dzahabi
Ketiga, riwayat Husyaim bin Basyir dari Abu Hasyim ar-Rumani dari Abu Mijlaz dari Qais bin Abbad dari Abu Sa’id al-Khudri RA. Riwayat ini mauquf (berupa perkataan sahabat Abu Said Al-Khudri RA, bukan sabda Nabi Muhammad SAW). Dengan lafal: malam Jum’at.
Satu-satunya perawi yang meriwayatkan dari jalur Husyaim bin Basyir yang mauquf ini adalah Abu Nu’man Muhammad bin Fadhl as-Sadusi. Hadits ini dikeluarkan oleh Ad-Darimi dalam Sunan ad-Darimi (2/546 no. 3407) dengan lafal:
مَنْ قَرَأَ سُورَةَ الْكَهْفِ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ ، أَضَاءَ لَهُ مِنَ النُّورِ فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْبَيْتِ الْعَتِيقِ
Barangsiapa membaca surat al-Kahfi pada malam Jum’at, niscaya aka nada cahaya terang yang menyinari antara dirinya dengan baitul ‘atiq (Ka’bah). (HR. Ad-Darimi, Sunan Ad-Darimi: kitab fadhail al-qur’an bab fadhlu surah al-kahfi, no. 3407)
Adapun kedudukan para perawi jalur sanad ini adalah sebagai berikut:
Poros sanad yaitu Husyaim bin Basyir bin Qasim bin Dinar as-Sulami al-Wasithi. Tentang statusnya, imam Abu Hatim berkata: Ia tsiqah, imam Adz-Dzahabi berkata: Ia imam, tsiqah, mudallis (suka memanipulasi hadits), Ibnu Hajar berkata: tsiqah, tsabt (teguh, kuat), banyak melakukan tadlis (manipulasi hadits) dan mursal khafi. Al-Alla’i mencantumkannya dalam peringkat kedua para perawi mudallis, dan Ibnu Hajar mencantumkannya dalam peringkat ketiga para perawi mudallis. Ia lebih tepat di peringkat tiga para perawi mudallis, karena ia banyak melakukan tadlis. (Lihat: Al-Jarh wa at-Ta’dil, 9/115 biografi no. 487, Tahdzib al-Kamal, 30/272 biografi no. 6595,  Al-Kasyif, 3/198 biografi no. 6085, Jami’ at-Tahshil hlm. 294 biografi no. 849, Taqrib at-Tahdzib hlm. 1023 biografi no. 7362 dan Ta’rif Ahl at-Taqdis hlm. 158 biografi no. 111)
Adapun para perawi jalur pertama darinya adalah:
  1. Nu’aim bin Hammad bin Mu’awiyah al-Khuza’i Abu Abdillah al-Marwazi. Tentang statusnya, imam Yahya bin Ma’in berkata: ia tsiqah, lalu Yahya bin Ma’in mencelanya dengan mengatakan: ia meriwayatkan dari orang-orang yang tidak tsiqah. Imam Ahmad berkata: Dahulu ia termasuk orang yang tsiqah. Abu Hatim berkata: Statusnya shidq (jujur). Al-‘Ijli berkata: Ia tsiqah. An-Nasai berkata: ia lemah, imam Ibnu Hibban menyebutkannya dalam kitab ats-Tsiqat lalu berkata: Terkadang ia keliru dan salah sangka. Adz-Dzahabi berkata: Ia diperselisihkan. Dalam Mizan al-I’tidal, imam Adz-Dzahabi berkata: Ia seorang ulama besar, meski lemah di bidang hadits. Ibnu Hajar berkata: Ia jujur tapi banyak keliru. (Lihat: Al-Jarh wa at-Ta’dil, 8/463 biografi no. 2125, Tahdzib al-Kamal, 29/466 biografi no. 6451,  Ma’rifat ats-Tsiqat, 2/316 biografi no. 1858, Ats-Tsiqat, 9/219, Tarikh Abi Zur’ah ad-Dimasyqi dan At-Ta’dil wa at-Tajrih karya Al-Baji, 2/779)
  2. Yazid bin Makhlad Abu Khadasy al-Wasithi. Imam Abu Zur’ah berkata tentang statusnya: ia orang yang haditsnya munkar (sangat lemah).  (Sualat al-Bardzi’i hlm. 760)
Adapun para perawi jalur kedua darinya adalah:
  1. Said bin Manshur bin Syu’bah al-Khurasani Abu Utsman al-Marwazi. Tentang statusnya, imam Abu Hatim dan Ibnu Numair berkata: Ia tsiqah. (Lihat: Al-Jarh wa at-Ta’dil, 4/68 biografi no. 284 dan Tahdzib al-Kamal, 11/77 biografi no. 2361)
  2. Ahmad bin Khalaf al-Baghdadi. Tentang statusnya, imam Al-Khatib al-Baghdadi berkata: ia meriwayatkan dan Husyaim bin Basyir, dan ia bukanlah perawi hadits yang terkenal di kalangan kami.” (Tarikh Baghdad, 4/134)
  3. Qasim bin Salam al-Baghdadi Abu Ubaid al-faqih al-qadhi. Tentang statusnya, imam Yahya bin Ma’in, Abu Daud, dan ad-Daruquthni berkata: Ia tsiqah. Ibnu Hajar berkata: Ia ulama terkenal, tsiqah, dan mulia. (Lihat: Tahdzib al-Kamal, 23/354 biografi no. 4792 dan Taqrib at-Tahdzib hlm. 450 biografi no. 5462)
Adapun para perawi jalur ketiga darinya adalah Muhammad bin Fadhl as-Sadusi, laqabnya adalah ‘Arim, Abu Nu’man al-Bashri. Tentang statusnya, imam Abu Hatim, al-‘Ijli dan Ibnu Hajar berkata: Ia tsiqah. Ibnu Hajar menambahkan: ia tsabt (teguh, kuat hafalan), namun hafalannya berubah di usia tua. Ad-Daruquthni berkata: Hafalannya berubah di usia tua, haditsnya yang nampak setelah hafalannya bercampur baur adalah hadits munkar, meskipun ia sendiri tsiqah. ((Lihat: Al-Jarh wa at-Ta’dil, 8/58 biografi no. 267, Tahdzib al-Kamal, 26/287 biografi no. 5547, Mizan al-I’tidal, 4/7 biografi no. 8057, Al-Kawakib an-Nayyirat hlm. 382 no. 52 dan Taqrib at-Tahdzib hlm. 889 biografi no. 6266)
Kesimpulan:
Dari kajian sanad di atas diketahui bahwa dari poros sanad terjadi tiga jalur percabangan sanad yang berbeda. Dari ketiga jalur tersebut, jalur yang paling kuat adalah jalur kedua karena faktor perawi yang lebih banyak dan statusnya lebih kuat. Dalam jalur kedua terdapat dua perawi yang tsiqah. Adapun dua jalur yang menyelisihinya adalah lemah, yaitu jalur pertama dan jalur ketiga. Jalur pertama lemah karena salah satu perawinya berstatus jujur banyak keliru, dan perawi lainnya munkar. Sedangkan jalur ketiga menguatkan kemauqufan jalur kedua, namun bunyi teks haditsnya berbeda. Imam Al-Baihaqi setelah menyebutkan riwayat Sa’id bin Manshur secara mauquf mengatakan: Inilah hadits yang terjaga, yaitu secara mauquf.”
***

Jalur periwayatan Syu’bah bin Hajjaj

Jalur Syu’bah bin Hajjaj diperselisihkan dalam dua jalan periwayatan:
Pertama, riwayat Syu’bah bin Hajjaj dari Abu Hasyim ar-Rumani dari Abu Mijlaz dari Qais bin Abbad dari Abu Sa’id al-Khudri RA dari Nabi Muhammad SAW. Riwayat ini marfu’.
Adapun perawi yang meriwayatkan dari jalur Syu’bah bin Hajjaj yang marfu’ ini adalah:
  1. Yahya bin Katsir.
    Jalur ini dikeluarkan oleh imam An-Nasai dalam as-sunan al-kubra (6/236 no. 10788), ath-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Awsath (2/123 no. 1455), al-Hakim dalam al-Mustadrak (1/752) dan dari jalur ini pula mengeluarkan imam al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman (2/457 no. 2446) dengan lafal:
    مَنْ قَرَأَ سُورَةَ الْكَهْفِ كَمَا أُنْزِلَتْ كَانَتْ لَهُ نُورًا مِنْ مَقَامِهِ إِلَى مَكَّةَ ، وَمَنْ قَرَأَ بِعَشْرِ آيَاتٍ مِنْ آخِرِهَا فَخَرَجَ الدَّجَّالُ لَمْ يُسَلَّطْ عَلَيْهِ
    Barangsiapa membaca surat Al-Kahfi sebagaimana ia diturunkan niscaya baginya cahaya dari tempatnya sampai Makkah, dan barangsiapa membaca sepuluh ayat terakhir surat Al-Kahfi sedangkan Dajjal telah keluar niscaya ia tidak akan bisa dikuasai oleh Dajjal.”
  2. Abdush Shamad bin Abdul Warits
    Jalur ini dikeluarkan oleh imam al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman (3/21 no. 2547). Dengan lafal:
    مَنْ قَرَأَ سُورَةَ الْكَهْفِ كَمَا أُنْزِلَتْ كَانَتْ لَهُ نُورًا مِنْ حَيْثُ قَرَأَهَا إِلَى مَكَّةَ
    Barangsiapa membaca surat Al-Kahfi sebagaimana ia diturunkan niscaya baginya cahaya dari tempat ia membacanya sampai Makkah.”
Kedua, riwayat Syu’bah bin Hajjaj dari Abu Hasyim ar-Rumani dari Abu Mijlaz dari Qais bin Abbad dari Abu Sa’id al-Khudri RA. Riwayat ini mauquf.
Adapun perawi yang meriwayatkan dari jalur Syu’bah bin Hajjaj yang mauquf ini adalah:
  1. Muhammad bin Ja’far
    Jalur ini dikeluarkan oleh An-Nasai dalam as-sunan al-kubra (6/236 no. 10789) dengan lafal:
    مَنْ قَرَأَ سُورَةَ الْكَهْفِ كَمَا أُنْزِلَتْ كَانَتْ لَهُ نُورًا مِنْ حَيْثُ يَقْرَؤُهُ إِلَى مَكَّةَ ، وَمَنْ قَرَأَ آخِرَ  الْكَهْفِ فَخَرَجَ الدَّجَّالُ لَمْ يُسَلَّطْ عَلَيْهِ
    Barangsiapa membaca surat Al-Kahfi sebagaimana ia diturunkan niscaya baginya cahaya dari tempat ia membacanya sampai Makkah, dan barangsiapa membaca ayat-ayat terakhir surat Al-Kahfi sedangkan Dajjal telah keluar niscaya ia tidak akan bisa dikuasai oleh Dajjal.”
  2. Mu’adz bin Mu’adz Al-Anbari
    Jalur ini disebutkan oleh imam Al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman (3/21) setelah menyebutkan hadits no. 2547.
  3. Amru bin Marzuq
    Jalur ini disebutkan oleh imam Ath-Thabarani dalam kitab Ad-Du’a no. 391.
Adapun kedudukan para perawi jalur sanad ini adalah sebagai berikut:
Poros sanad, yaitu Syu’bah bin Hajjaj bin Ward al-Ataki al-Azdi Abu Bustham al-Wasithi. Tentang statusnya, imam Sufyan ats-Tsauri berkata: Syu’bah adalah amirul mukminin di bidang hadits. An-Nasai berkata: Orang-orang yang dipercaya Allah untuk menjaga ilmu rasul-Nya ada tiga orang; Syu’bah bin Hajjaj, Yahya bin Sa’id al-Qathan, dan Malik bin Anas.” (Lihat: Tahdzib al-Kamal, 27/479 biografi no. 2739 dan Siyar A’lam an-Nubala’, 8/106)
Adapun para perawi jalur pertama darinya adalah:
  1. Yahya bin Katsir bin Dirham al-Anbari Abu Ghasan al-Bashri. Tentang statusnya, Abu Hatim berkata: haditsnya shalih. An-Nasai berkata: Ia tidak mengapa. Ibnu Hajar berkata: Ia tsiqah. (Lihat: Al-Jarh wa at-Ta’dil, 9/183 biografi no. 760, Tahdzib al-Kamal, 13/499 biografi no. 6904 dan Taqrib at-Tahdzib hlm. 595 biografi no. 7629)
  2. Abdush Shamad bin Abdul Warits bin Sa’id bin Tamimi Abu Sahl al-Bashri. Tentang statusnya, Ibnu Sa’ad berkata: Ia tsiqah, insya Allah. Al-Ijli berkata: Ia tsiqah. Ibnu Hibban menyebutkannya dalam kitab ats-tsiqat. Ibnu Hajar berkata: Ia shaduq lagi tsabt (teguh) dalam periwayatan dari Syu’bah.” (Lihat: Ath-Thabaqat al-Kubra, 7/300, Al-Jarh wa at-Ta’dil, 6/50 biografi no. 269, Ma’rifah ats-Tsiqat, 2/95 biografi no. 1100, Ats-Tsiqat karya Ibnu Hibban, 8/414, Tahdzib al-Kamal, 18/99 biografi no. 3431 dan Taqrib at-Tahdzib hlm. 610 biografi no. 4108)
Adapun para perawi jalur kedua darinya adalah:
  1. Muhammad bin Ja’far al-Hudzali, Abu Abdullah al-Bashri, laqabnya adalah Ghundar. Tentang statusnya, Yahya bin Ma’in berkata: Ia tsiqah. Ibnu Hajar berkata: Ia tsiqah, catatan bukunya benar, hanyasaja pada dirinya ada kelalaian.” (Lihat: Al-Jarh wa at-Ta’dil, 7/221 biografi no. 1223, Mizan I’tidal, 3/502 biografi no. 7324, Tarikh Yahya bin Ma’in Riwayah ad-Darimi hlm. 64 biografi no. 106, Tahdzib al-Kamal, 25/5 biografi no. 5120, dan Taqrib at-Tahdzib hlm. 472 biografi no. 5787)
  2. Mu’adz bin Mu’adz bin Nashr bin Hasan bin Hurr al-Anbari, Abu Mutsanna al-Bashri. Tentang statusnya, imam Yahya bin Ma’in berkata: Ia tsiqah, imam Ahmad berkata: Mu’adz bin Mu’adz adalah penyejuk mata di bidang hadits, Abu Hatim berkata: ia tsiqah, dan Ibnu hajar berkata: Ia tsiqah lagi hafalannya handal. (Lihat: Al-Jarh wa at-Ta’dil, 8/248 biografi no. 1132, Al-Ilal wa Ma’rifat ar-Rijal Riwayah Al-Marwadzi wa Ghairih hlm. 51 biografi no. 32, Tarikh Yahya bin Ma’in Riwayah ad-Darimi hlm. 215 biografi no. 803, Tahdzib al-Kamal, 28/132 biografi no. 6036, dan Taqrib at-Tahdzib hlm. 952 biografi no. 6787)
  3. Amru bin Marzuq maula al-Bahili, Abu Utsman al-Bashri. Tentang statusnya, Yahya bin Ma’in: Ia tsiqah, bisa dipercaya, sering berjihad, ahli qira’at, dan orang yang mulia. Ibnu Sa’ad berkata: Ia tsiqah dan banyak meriwayatkan hadits. Ahmad bin Hambal berkata: Ia tsiqah, bisa diercaya, kami memeriksa celaan yang ditujukan kepadanya namun kami tidak mendapatkannya. Abu Hatim berkata: Ia tsiqah dari kalangan ahli ibadah, kami tidak mendapatkan seorang pun murid Syu’bah yang kami menulis hadits darinya yang lebih baik haditsnya daripada dirinya. Ibnu Hajar: Ia tsiqah, orang mulia, dan memiliki beberapa kekeliruan. (Lihat: Ath-Thabaqat al-Kubra, 7/305, Al-Jarh wa at-Ta’dil, 6/263 biografi no. 1456, Tahdzib al-Kamal, 22/224 biografi no. 4446, dan Taqrib at-Tahdzib hlm. 745 biografi no. 51455)
Kesimpulan:
Dari kajian ini menjadi jelas bahwa jalur periwayatan ini memiliki dua jalan yang berlainan. Berdasar kajian di atas, jalan yang kedua adalah jalan yang lebih kuat karena lebih banyak jumlah perawinya dan status mereka lebih kuat dari status para perawi jalan pertama; di mana jumlahnya adalah tiga perawi, salah satunya adalah perawi yang paling kuat dan baik haditsnya jika meriwayatkan dari Syu’bah, yaitu Muhammad bin Ja’far. Dengan demikian, jalan periwayatan yang marfu’ adalah lemah dan syadz (menyelisihi jalur para perawi yang lebih tsiqah). Maka riwayat yang kuat dan bisa diterima dari jalur Syu’bah bin Hajjaj adalah riwayat mauquf. 
***

Jalur periwayatan Sufyan ats-Tsauri

Jalur Sufyan ats-Tsauri diperselisihkan dalam dua jalan periwayatan:
Pertama, riwayat Sufyan ats-Tsauri dari Abu Hasyim ar-Rumani dari Abu Mijlaz dari Qais bin Abbad dari Abu Sa’id al-Khudri RA. Riwayat ini mauquf.
Adapun perawi yang meriwayatkan dari jalur Sufyan ats-Tsauri yang mauquf ini ada lima orang yaitu:
  1. Abdur Razzaq bin Hammam ash-Shan’ani
    Dikeluarkan oleh Abdur Razzaq dalam Al-Mushannaf (1/186 no. 730) dan (3/377 no. 6023) dan dari jalan ini Ath-Thabarani mengeluarkannya dalam kitab Ad-Du’a no. 391.
  2. Qabishah bin Uqbah
    Dikeluarkan oleh Al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman (3/21 no. 3038)
  3. Abdurrahman bin Mahdi
    Dikeluarkan oleh Nu’aim bin Hammad dalam kitab Al-Fitan (1/344) dan dari jalurnya Al-Hakim mengeluarkannya dalam kitab Al-Mustadrak (5/137)
    Dikeluarkan juga oleh An-Nasai dalam As-Sunan al-Kubra (6/236 no. 10790) dari Muhammad bin Basyar.
    Dikeluarkan juga oleh Al-Hakim dalam kitab Al-Mustadrak (5/137) dari Ahmad bin Hambal.
    Ketiga jalur ini meriwayatkan dari Abdurrahman bin Mahdi.
  4. Waki’ bin Jarrah
    Dikeluarkan oleh Nu’aim bin Hammad dalam kitab Al-Fitan (1/344) dengan lafal:
    مَنْ قَرَأَ سُورَةَ الْكَهْفِ كَمَا أُنْزِلَتْ ، ثُمَّ أَدْرَكَ الدَّجَّالَ لَمْ يُسَلَّطْ عَلَيْهِ ، أَوْ لَمْ يَكُنْ لَهُ عَلَيْهِ سَبِيلٌ ، وَمَنْ قَرَأَ سُورَةَ  الْكَهْفِ كَانَ لَهُ نُورًا مِنْ حَيْثُ قَرَأَهَا مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ مَكَّةَ
    Barangsiapa membaca surat Al-Kahfi sebagaimana ia diturunkan kemudian ia mendapati Dajjal, niscaya Dajjal tidak akan mampu menguasai dirinya dan barangsiapa membaca surat Al-Kahfi niscaya baginya cahaya dari tempat ia membacanya sampai Makkah.”
  5. Abdullah bin Mubarak
    Dikeluarkan oleh An-Nasai dalam As-Sunan al-Kubra (6/25 no. 9911)
Kedua, riwayat Sufyan ats-Tsauri dari Abu Hasyim ar-Rumani dari Abu Mijlaz dari Qais bin Abbad dari Abu Sa’id al-Khudri RA dari Nabi Muhammad SAW. Riwayat ini marfu’.
Satu-satunya perawi yang meriwayatkan dari jalur Sufyan ats-Tsauri yang marfu’ ini adalah: Yusuf bin Asbath.
Dikeluarkan oleh Ibnu Suni dalam kitab Amal al-Yaum wa al-Lailah no. 30 dan dari jalurnya Ibnu Hajar mengeluarkannya dalam Nataij al-Afkar (1/344) dan Al-Baihaqi dalam kitab Ad-Da’awat no. 59.
Adapun kedudukan para perawi jalur sanad ini adalah sebagai berikut:
Poros sanad, yaitu Sufyan bin Sa’id bin Masruq ats-Tsauri Abu Abdillah al-Kufi. Tentang statusnya, Al-Khatib al-Baghdadi berkata: Ia adalah salah seorang imam kaum muslimin dan ulama agama, telah disepakati sebagai orang yang amanah sehingga ia tidak memerlukan rekomendasi lagi. Selain itu ia seorang ulama yang cermat, berpengetahuan, kuat hafalan, wara’, dan zuhud. (Lihat: Tarikh Baghdad, 9/165, Tahdzib al-Kamal, 11/154 biografi no. 247 dan Taqrib at-Tahdzib hlm. 244 biografi no. 2445)
Adapun para perawi jalur pertama darinya adalah:
  1. Abdur Razzaq bin Hammam bin Nafi’ Abu Bakar ash-Shan’ani. Tentang statusnya, imam Ahmad berkata: Aku tidak pernah melihat orang yang lebih baik haditsnya daripada Abdur Razzaq. Ya’qub bin Syaibah berkata: Ia tsiqah dan teguh hafalan. Ibnu Hajar berkata: ia tsiqah, hafizh, pengarang kitab hadits yang terkenal, di akhir hayatnya buta sehingga hafalannya berubah, dan ia cenderung kepada Syi’ah. (Lihat: Al-Ilal wa Ma’rifat ar-Rijal, 2/59 biografi no. 1545, Tahdzib al-Kamal, 18/52 biografi no. 3451, dan Taqrib at-Tahdzib hlm. 607 biografi no. 4092)
  2. Qabishah bin Uqbah bin Muhammad bin Sufyan bin Uqbah Abu Amir al-Kufi. Tentang statusnya, imam Abu Hatim berkata: Ia jujur, aku tidak melihat seorang perawi hadits yang menyampaikan hadits dengan satu lafal tanpa pernah mengalami perubahan selain Qabishah bin Uqbah. An-Nasai berkata; Ia tidak mengapa. Al-Ijli berkata: Ia tsiqah. Adz-Dzahabi berkata: ia penghafal hadits dan ahli ibadah.” Adz-Dzahabi juga berkata: Ia orang jujur dan mulia. Ibnu Hajar berkata: Ia jujur dan terkadang menyelisihi (ulama hadits yang lebih kuat darinya).
    Penulis (Dr. Sa’id bin Shalih ar-Raqib) berkata: Pendapat yang lebih kuat menyatakan derajatnya tsiqah. Ulama yang menurunkan derajatnya dari derajat tsiqah beralasan bahwa Qabishah menyelisihi (para perawi yang lebih tsiqah darinya) dalam beberapa hadits ats-Tsauri. Namun ia dinyatakan tsiqah oleh sejumlah ulama hadits. Adz-Dzahabi setelah menyebutkan pendapat para ulama tentang statusnya, mengatakan: Ia justru dijadikan hujah dan dianggap tsiqah oleh mereka meski ia memiliki beberapa kekeliruan. (Lihat: Al-Jarh wa at-Ta’dil, 7/126 biografi no. 722, Ma’rifat ats-Tsiqat, 2/215 biografi no. 1511, At-Thabaqat al-Kubra, 6/370, Ats-Tsiqat Ibnu Hibban, 9/21,  Tahdzib al-Kamal, 23/481 biografi no. 6036, Mizan al-I’tidal, 2/383 biografi no. 6861, Al-Kasyif, 2/340 biografi no. 4616, dan Taqrib at-Tahdzib hlm. 797 biografi no. 5548)
  3. Abdurrahman bin Mahdi bin Hasan al-Anbari, Abu Sa’id al-Bashri. Tentang statusnya, imam Abu Hatim berkata: Ia imam dan tsiqah. Ibnu Hibban berkata: ia termasuk golongan para ulama penghafal hadits yang tekun dan teliti, hidup wara’, banyak menghafal, mengumpulkan, memahami, mengarang, dan menceritakan hadits. Ia hanya meriwayatkan dari para perawi yang tsiqah. Ibnu Hajar berkata: Ia tsiqah, teguh, penghafal hadits, pakar di bidang biografi perawi hadits dan hadits.  (Lihat: Al-Jarh wa at-Ta’dil, 1/251 biografi no. 1382, Ats-Tsiqat Ibnu Hibban, 8/373, Tahdzib al-Kamal, 17/430 biografi no. 3969, dan Taqrib at-Tahdzib hlm. 601 biografi no. 4044)
  4. Waki’ bin Jarrah bin Mulaih ar-Ruasi Abu Sufyan al-Kufi. Tentang statusnya, imam Yahya bin Ma’in berkata: Perawi yang teguh di Irak adalah Waki’. Ahmad berkata: Waki’ bin Jarrah adalah imam kaum muslimin pada zamannya. Ibnu Hajar berkata: Ia tsiqah, penghafal hadits, dan ahli ibadah. (Lihat: Tarikh Baghdad, 13/474, Tahdzib al-Kamal, 30/462 biografi no. 6695, Muqaddimah Ibnu Shalah hlm. 288-289 dan Taqrib at-Tahdzib hlm. 581 biografi no. 7414)
  5. Abdullah bin Mubarak bin Wadhah al-Hanzhali Abu Abdirrahman al-Marwazi. Tentang statusnya, imam Yahya bin Ma’in berkata: Abdullah bin Mubarak adalah sebuah kantong ilmu, sangat teguh, dan tsiqah, seorang ulama yang haditsnya shahih.” Ibnu Hajar berkata: Ia tsiqah, teguh, pakar fiqih, dan seorang ulama. (Lihat: Tahdzib al-Kamal, 16/5 biografi no. 3520 dan Taqrib at-Tahdzib hlm. 540 biografi no. 3595)
Adapun perawi jalur kedua darinya adalah:
Yusuf bin Asbath bin Washil Abu Muhammad asy-Syaibani. Tentang statusnya, imam Yahya bin Ma’in dan Ahmad bin Hambal berkata: Ia tsiqah. Abu Hatim berkata: Ia seorang ahli ibadah. Ia mengubur buku-bukunya maka ia banyak keliru. Ia orang yang shalih, namun haditsnya tidak bisa dijadikan hujah. Penulis (Dr. Sa’id bin Shalih ar-Raqib) berkata: Ia tsiqah, namun setelah ia mengubur buku-bukunya, periwayatan haditsnya banyak keliru, dan hadits yang saya kaji ini adalah bukti kekeliruannya. (Lihat: Al-Jarh wa at-Ta’dil, 9/218 biografi no. 910, Al-Kamil fi Dhu’afa’, 7/157, Adh-Dhu’afa’ al-Kabir, 4/454  biografi no. 2084, Tarikh Yahya bin Ma’in Riwayah ad-Darimi hlm. 227 soal no. 874 dan Sualat Abi Daud li-Ahmad hlm. 286 soal no. 330)
Kesimpulan:
Dari kajian di atas menjadi jelas bahwa periwayatan dari jalur ini memiliki dua jalan yang berbeda. Jalan periwayatan yang pertama adalah jalan yang lebih kuat, karena jumlah perawinya lebih banyak dan status para perawinya lebih kuat. Jumlah perawinya ada lima orang, tiga di antaranya adalah murid senior yang paling kuat dalam meriwayatkan dari guru mereka, Sufyan ats-Tsauri. Ketiganya adalah Abdullah bin Mubarak, Abdurrahman bin Mahdi, dan Waki’ bin Jarah. Sedangkan jalan lain hanya memiliki satu perawi, dan statusnya banyak keliru. Dengan demikian jalur periwayatan secara marfu’ yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi yang banyak keliru ini adalah riwayat yang lemah dan menyelisihi riwayat yang lebih kuat, yaitu riwayat mauquf yang diriwayatkan oleh lima orang perawi yang tsiqah. Maka jalur periwayatan dari Sufyan at-Tsauri yang benar dan bisa diterima adalah riwayat yang mauquf ini.
***

Perbedaan riwayat dari Abu Hasyim ar-Rumani

Dari Abu Hasyim ar-Rumani periwayatan hadits ini bercabang menjadi dua jalur yang berbeda satu sama lainnya:
Jalur pertama, jalur Abu Hasyim ar-Rumani dari Abu Mijlaz dari Qais bin Abbad, dari Abu Sa’id al-Khudri RA secara mauquf (perkataan sahabat, bukan sabda Nabi SAW) tanpa menyebutkan lafal hari Jum’at.
Ada dua perawi yang meriwayatkan jalur ini dari Abu Hasyim ar-Rumani yaitu:
  1. Syu’bah bin Hajjaj. Pembahasan jalur periwayatan dan status para perawinya telah diuraikan di atas. Kesimpulannya, sesungguhnya riwayat yang kuat dan bisa diterima dari Syu’bah bin Hajjaj dari Abu Hasyim ar-Rumani adalah riwayat mauquf ini.
  2. Sufyan ats-Tsauri. Pembahasan jalur periwayatan dan status para perawinya telah diuraikan di atas. Kesimpulannya, sesungguhnya riwayat yang kuat dan bisa diterima dari Sufyan ats-Tsauri dari Abu Hasyim ar-Rumani adalah riwayat mauquf ini.
Jalur kedua, jalur Abu Hasyim ar-Rumani dari Abu Mijlaz dari Qais bin Abbad, dari Abu Sa’id al-Khudri RA secara mauquf dengan menyebutkan lafal hari Jum’at. Perawi yang meriwayatkan dari jalur ini dari Abu Hasyim ar-Rumani adalah Husyaim bin Basyir. Pembahasan jalur periwayatan dan status para perawinya telah diuraikan di atas. Kesimpulannya, sesungguhnya riwayat yang kuat dan bisa diterima dari Husyaim bin Basyir dari Abu Hasyim ar-Rumani adalah riwayat mauquf ini.
Adapun tentang status poros hadits, Abu Hasyim ar-Rumani Yahya bin Dinar. Imam Ibnu Sa’ad, Yahya bin Ma’in, Abu Zur’ah, An-Nasai, dan Ibnu Hajar berkata: Ia tsiqah. (Lihat: Al-Jarh wa at-Ta’dil, 9/140 biografi no. 595, Tahdzib al-Kamal, 34/362 biografi no. 7680 dan Taqrib at-Tahdzib hlm. 680 biografi no. 8425)
***

Kesimpulan kajian hadits ini:

  1. Hadits Abu Sa’id Al-Khudri tentang keutamaan membaca surat Al-Kahfi memiliki satu jalur sanad saja, dan pada perawi Abu Hasyim ar-Rumani diperselisihkan menjadi tiga jalur: tiga jalur secara mauquf.
  2. Dua jalur yang mauquf diriwayatkan oleh dua orang ulama besar hadits (Syu’bah bin Hajjaj dan Sufyan ats-Tsauri) tanpa menyebutkan lafal hari atau malam Jum’at.
  3. Satu jalur yang mauquf diriwayatkan oleh seorang perawi (Husyaim bin Basyir) yang statusnya lemah (banyak meriwayatkan secara mursal dan sering melakukan tadlis) dengan menyebutkan tambahan lafal hari Jum’at.
  4. Status riwayat mauquf dengan tambahan lafal hari Jum’at yang hanya diriwayatkkan oleh seorang perawi yang lemah adalah syadz, lemah, dan tertolak karena menyelisihi riwayat perawi yang lebih kuat, bahkan berjumlah dua perawi dan keduanya adalah ulama besar hadits. Imam Yahya bin Ma’in telah mengedepankan riwayat Syu’bah bin Hajjaj dan Sufyan ats-Tsauri atas riwayat Husyaim bin Basyir.
  5. Status riwayat mauquf dari jalur Syu’bah bin Hajjaj dan Sufyan ats-Tsauri tanpa tambahan lafal hari Jum’at adalah shahih dan bisa diterima. Meski riwayat ini mauquf (perkataan sahabat Abu Sa’id al-Khudri RA, bukan sabda Nabi SAW) namun ia dalam perkara yang akal semata tidak memiliki hak untuk berbicara tentangnya. Oleh karenanya, statusnya disamakan dengan riwayat marfu’ (secara lafal mauquf, secara hukum marfu’).
  6. Hadits mauquf Abu Sa’id al-Khudri RA ini menjadi dalil keutamaan membaca surat Al-Kahfi pada waktu (hari atau malam) apapun, tanpa ada pengkhususan keutamaan pada hari atau malam Jum’at.
  7. Tidak ada hadits shahih yang secara khusus memerintahkan pada hari atau malam Jum’at untuk membca surat Al-Kahfi. Surat Al-Kahfi memiliki banyak keutamaan, dan dianjurkan untuk sering membacanya, namun tanpa pengkhususan waktu tertentu.
Wallahu a’lam bish-shawab.
(muhib al-majdi

JUJUR ITU INDAH

"Pokoknya kita mesti cerai hari ini," tukas sang istri kepada suaminya.
"Kembalikan uang saya, saya tidak rela dengan barang cacat seperti ini,"
sahut pembeli kepada penjual. "Tok..tok..tok.." suara palu diketuk, hakim
memutuskan bahwa si fulan bin fulan tersang ka kasus pendinginan uang. dan
masih seabreg kasus lainnya, terjadi di negri kita ini, disebabkan karena
ketidakjujuran dalam mengemban amanah, bagaimanakah Islam menilai
kejujuran..!

Sejatinya seorang muslim adalah pengemban risalah dalam kehidupan,
olehkarenanya hendak-lah bermuamalah dengan akhlaq yang mulia nan tinggi,
dengannya niscaya jelaslah kemuliaan seorang muslim dari yang lainnya.

Di antara akhlaq mulia yang semestinya menghiasi seorang muslim, namun kerap
ditinggalkan, padahal dengannyalah seseorang merasakan hakikat cinta, dengan
nya pula terbangun persahabatan yang sejati nan diridhoi.

Akhlaq itu adalah jujur dalam berkata dan beramal, karenanya seorang muslim
akan merasa tentram, dan menghantarkankan kepada kehidupan harmonis yang
berakhir di jannatullah.

Namun begitulah manusia, terkadang amalnya tidak sejalan dengan fitrah yang
salimah (lurus), pemandangan ironi pun kerap terjadi, ya!.. tanggal 01 April
dunia mengenalnya dengan [April Fools Day] yang di Indonesia akrab dikenal
dengan April Mop [hari penghalalan ber bohong] innalillahi wainna ilaihi
rajiun! inilah pembatalan syari'at yang sejalan dengan fitrah, sungguh agama
Islam yang hanif ini memerintahkan hambanya untuk jujur, dan meninggalkan
bohong.

Allah Ta'ala berfirman, artinya, "Wahai orang-orang yang beriman bertakwalah
kepada Allah dan bersamalah kamu bersama orang yang benar [jujur]" (QS.
at-Taubah:119), dalam ayat yang lain, "Agar Allah memberikan balasan kepada
yang jujur karena kejujurannya dan mengazab orang munafiq jika ia
menghendakinya." (QS. al-ahzab: 24)

Syaikh al-utsaimin rahimahullah berkata, "Itu semua menunjukkan bahwasanya
kejujuran adalah perkara yang mulia dan akan mendapat balasan dari Allah,
oleh karenanya wajiblah bagi kita untuk jujur, terbuka dan tidak
menyembunyikan sesuatu karena basa-basi atau berdebat"

Diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud, dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam,
bahwasanya beliau shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Hendaklah kalian
berlaku jujur, karena sesungguhnya kejujuran menghantarkan kepada
kebaikan,dan sesungguhnya kebaikan menghantarkan kepada surga, dan apabila
seseorang senantiasa berlaku jujur niscaya ia di tulis di sisi Allah Ta'ala
sebagai seorang yang jujur, dan janganlah kalian berdusta karena
sesungguhnya dusta menghantarkan kepada kejelekan, dan sesungguhnya
kejelekan menghantarkan kepeda neraka, dan apabila seseorang senantiasa
berlaku dusta niscaya ia di tulis di sisi Allah Ta'ala sebagai seorang
pendusta." (Muttafaqun 'alaih).

Lantas apakah hakekat kejujuran..? Syaikh al-utsaimin Ta'ala berkata, "Jujur
adalah, selarasnya khabar dengan realita, baik berupa perkataan atau
perbuatan."

Oleh karenanya kita katakan, apabila khabar (perkataan) selaras dengan
kenyataan maka itulah kejujuran dengan llisan, dan apabila perbuatan badan
selaras dengan hati maka itulah kejujuran dengan perbuatan.

Maka, orang yang berbuat riya', bukanlah orang yang jujur, karena dia
menampakkan ketaatan tapi hatinya tidak demikian.

Begitu juga orang munafiq, menampakkan keimanan dan menyembunyikan
kekufuran.

Demikian orang musyrik, menampakkan ketauhidan dan menyembunyikan
peribadatan kepada selain Allah.

Tak jauh beda dengan ahli bid'ah, menampakkan keta'atan dan pengikutan
kepada rasul akan tetapi dia menyelisihinya.

Maka, dari pemaparan di atas jelaslah akan kewajiban berlaku jujur dalam
berbagai segi kehidupan, baik dalam konteks sebagai hamba yang berhubungan
dengan sang Khaliq, ataupun dalam konteks sebagaimana layaknya manusia
dengan sesamanya, seperti jujur dalam memegang amanah kepemimpinan, dalam
jual beli, berumah tangga,ber patner dalam bekerja, baik di instansi
pemerintahan ataupun swasta, dll. Sehingga tertutuplah pintu kecurangan,
penipuan, kecemburuan, prasangka buruk, bahkan KKN sekalipun.

Bahkan lebih dari itu, dalam canda dan tawapun kita dituntut untuk jujur,
karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Celakalah bagi
orang yang berbicara kemudian berdusta agar manusia tertawa dengannya, maka
celakalah kemudian celakalah." (HR. Ahmad, dihasankan oleh al-Albani.), oleh
karena itu kita harus berhati-hati.

Adapun buah dari kejujuran adalah, berikut ini;

Bahwasanya ia menghantarkan kepada kebaikan yang bertepi di surga Allah
Ta'ala, mendapat pujian dari Rabb semesta alam, selamat dari sifat munafiq
yang selalu berdusta apabila bicara, mendapatkan kepercayaan dari sesamanya,
terbentuknya kehidupan yang tentram dan selamat yang tiada penyesalan, Oleh
karenanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Tinggalkanlah
yang membuatmu ragu kepada yang tidak ragu. Sesungguhnya jujur itu
ketenangan, dan bohong itu keragu-raguan" (HR. at-tirmizi)

Jujur dalam niat dan lisan akan menghantarkan seseorang ke derajat yang
tinggi, yaitu derajat syuhada. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda, "Barang siapa meminta kepada Allah mati syahid dengan penuh
kejujuran, niscaya Allah menghantarkannya ke derajat syuhada, walaupun dia
mati di atas kasurnya." (HR. Muslim). Dan faidah lainnya yang tak terhitung.

Berikut ini salah satu contoh yang nyata tentang buah dari kejujuran; kita
dapati dalam kitab tarikh, bahwasanya suatu hari sebagaimana biasanya Umar
-Amirul Mu'minin- berjalan di malam hari mengontrol keadaan rakyatnya,
hingga sampailah dia di dekat suatu rumah, tanpa disengaja beliau mendengar
percakapan antara seorang ibu -penjual susu- dengan anak gadisnya,
"Tuangkanlah air ke dalam susu ini," tukas ibu kepada anak gadisnya. Maka
sang gadis pun menjawab dengan penuh tatakrama, "Wahai ibu! bukankah Amirul
Mu'minin melarang kita dari perbuatan ini?" Sang ibu pun lantas berkilah,
"Bukankah tidak ada seorang pun yang mengetahui perbuatan ini? Apalagi
Amirul Mu'minin!" Sang gadis pun berusaha meyakinkan sang ibu, "Wahai ibu!,
kalaulah seandainya Amirul Mu'minin tidak mengetahui, bukankah Rabbnya
Amirul mukminin mengetahui." Lantas sang ibu pun terdiam. Maka Umar kaget
dan bahagia, lantas ia bergegas menuju rumahnya dan menawarkan anaknya untuk
menikahi gadis tersebut. Maka dinikahilah anak tersebut oleh 'Ashim bin umar
dan terlahirlah dari pasangan ini seorang anak perempuan yang kelak dinikahi
oleh Abdul Malik bin Marwan, dan terlahirlah dari pasangan ini seorang alim
yang disebut-sebut sebagai khalifah yang kelima sebagai buah dari kejujuran,
dialah Amirul Mu'minin Umar bin Abdul aziz, khalifah yang alim, bertaqwa,
zuhud dan adil.

Sumber: Disarikan dari berbagai sumber.

Waktu Anda Adalah Usia

Waktu Anda Adalah Usia Anda

ADA APA DENGAN WAKTU?

Tafsir Surat Al-Insyirah Ayat 7-8

“Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, dan hanya kepada Rabbmulah hendaknya kamu berharap.” (QS. 94 : 7-8).

Tafsir Ayat

Yakni, apabila engkau telah selesai mengerjakan suatu tugas, maka bersiap sedialah mengerjakan tugas yang lainnya. Yakni, kerjakanlah tugas yang lain, janganlah menyia-nyiakan kesempatan. Oleh karena itu, hidup seorang yang berakal adalah kehidupan yang penuh dengan kesungguhan. Setiap kali selesai mengerjakan satu tugas ia bersiap mengerjakan tugas yang lain.


Karena waktu akan terus berlalu, baik kita dalam keadaan terjaga maupun tidur, dalam keadaan sibuk maupun longgar. Waktu terus berjalan, tidak ada seorangpun yang dapat menahannya. Sekiranya semua manusia bersatu padu untuk menahan matahari supaya waktu siang bertambah panjang, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya. Tidak ada seorangpun yang dapat menahan waktu. Karena itu, jadikanlah hidupmu hidup yang penuh kesungguhan. Jika engkau selesai mengerjakan sebuah pekerjaan, lanjutkanlah dengan pekerjaan yang lain. Jika engkau telah selesai mengerjakan urusan dunia hendaklah engkau melanjutkannya dengan mengerjakan urusan akhirat. Sebaliknya, jika engkau selesai mengerjakan urusan akhirat lanjutkanlah dengan mengerjakan urusan dunia. Apabila engkau telah selesai mengerjakan shalat Jum’at, bertebaranlah di muka bumi dan carilah karunia Allah. Shalat Jum’at diapit oleh dua urusan dunia. Allah berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum’at…” (QS. 62 : 9).

Yakni, sementara engkau sibuk mengurus urusan dunia.

Allah berfirman:

“…maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah…” (QS. 62 : 9-10).

Apabila kita selesai mengerjakan satu tugas, maka bersiaplah mengerjakan tugas yang lain. Demikianlah seterusnya. Seorang insan hendaklah selalu bersungguh-sungguh.

Jika ada yang berkata: Apabila aku terus-menerus serius dan sungguh-sungguh setiap waktu, aku pasti letih dan bosan.

Jawabnya: Sesungguhnya istirahatmu untuk menyegarkan dirimu dan mengembalikan gairah kerja termasuk pekerjaan dan amalan. Maksudnya, pekerjaan dan amalan itu tidak harus bergerak. Waktu istirahatmu untuk mengembalikan gairah kerja termasuk pekerjaan dan amalan. Yang paling penting adalah, jadikanlah seluruh hidupmu dalam kesungguhan dan amal.

Firman Allah:

“…dan hanya kepada Rabb-mulah hendaknya kamu berharap.” ( QS. 94 : 8 ).

Yakni, apabila engkau selesai mengerjakan tugas-tugas lalu diikuti dengan pekerjaan yang lainnya, maka berharaplah kepada Allah untuk mendapatkan pahala. Selalulah memohon pertolongan kepada Allah sebelum dan sesudah beramal. Sebelum beramal mintalah pertolongan kepada Allah. Dan setelah beramal harapkanlah pahala dari Allah.

Dalam firman Allah: “dan hanya kepada Rabb-mulah hendaknya kamu berharap” terdapat faedah balaghiyah. Dalam struktur kalimat kata jar majrur: ilaa rabbika berkaitan dengan kata farghab, dan ia disebutkan terlebih dulu. Mendahulukan ma’mul (dalam hal ini jar majrur) memberi faedah hasr (pembatasan). Yakni, hanya kepada Allah sajalah kamu berharap jangan kepada yang lainnya. Berharaplah kepada-Nya dalam seluruh urusanmu. Dan percayalah, Allah pasti memudahkan engkau selama engkau menggantungkan pengharapanmu kepada-Nya. Banyak manusia yang kurang menyadarinya, yaitu kurang menyadari bahwa mereka harus selalu menggantungkan harapannya kepada Allah. Oleh karena itu, kita dapati amal perbuatan mereka banyak yang rusak. Karena tidak ada hubungan antara mereka dengan Allah dalam amal perbuatan mereka. Kita memohon kepada Allah agar menjadikan kita semua orang-orang yang melaksanakan perintah-perintah-Nya dan membenarkan berita-berita-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Ada Apa Dengan Waktu?

Waktu adalah Hal Termahal yang Dimiliki oleh Manusia

Waktu adalah salah satu nikmat Allah yang paling mahal yang dikaruniakan kepada manusia. Meski demikian, seringkali kita lalai untuk mempergunakannya secara efektif dan efisien. Al-Qur’an dan As-Sunnah sendiri telah menaruh perhatian khusus terhadap waktu dari banyak aspek dengan berbagai bentuknya. Allah Ta’ala telah menjelaskan urgensinya waktu dan besarnya nikmat Allah di dalamnya. Dalam konteks penyebutan tentang betapa besarnya karunia Allah kepada manusia, dijelaskan dalam firman-Nya:

Dan Dia telah pula menundukkan bagi kalian matahari dan bulan yang terus menerus beredar, dan telah menundukkan bagi kalian malam dan siang. Dan Dia telah memberikan kepada kalian (keperluan kalian) dari segala apa yang kalian mohonkan kepada-Nya. Dan jika kalian menghitung nikmat Allah, niscaya kalian tidak akan dapat menghitungnya. (QS. Ibrahim [14]:33-34).

As-Sunnah menegaskan urgensinya waktu dan tanggung jawab manusia terhadapnya yang akan dipersoalkan di hadapan Allah Ta’ala kelak di hari kiamat. Dalam sebuah riwayat ditegaskan:

Dari Mu’adz bin Jabal radiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda,” Kedua telapak kaki seorang hamba tidak akan bergeser dari tempatnya pada hari kiamat sehingga ia ditanya tentang empat perkara ; umurnya untuk apa ia habiskan, masa mudanya untuk apa ia pergunakan, hartanya dari mana ia dapatkan dan ke mana ia belanjakan, dan perbuatannya apa yang telah ia kerjakan.” (H.R. At-Thabrani dengan sanad shahih).

Para intelek dan orang-orang bijak telah menyadari urgensinya waktu ini. Mereka mengatakan, “Waktu itu laksana emas,” Kata yang lainnya, “Waktu itu bagaikan pedang.”

Semoga Allah Ta’ala merahmati seorang ulama yang telah menyatakan, “Waktu adalah kehidupan.” Memang tak diragukan lagi, waktu lebih mahal dari emas dan lebih tajam dari pedang.

Waktu adalah Kesempatan atau Modal yang Terbatas

Waktu adalah rentang waktu yang dimulai sejak Anda dilahirkan dan berakhir dengan kematian Anda.

Kehidupan Waktu Kematian

Kehidupan

Waktu adalah kesempatan atau modal yang terbatas. Kita semua mempunyai kuantitas waktu yang sama :

24 Jam per hari

168 Jam per pekan

Dalam kehidupan Anda, Anda tidak mempunyai waktu selain sejumlah tahun yang telah Allah tetapkan untuk Anda. Mustahil Anda bisa menabung waktu. Anda juga tidak bisa menghentikan atau menggerakkannya. Anda hanya bisa menggunakan 60 detik dalam tiap menitnya.

Hati Anda senantiasa memperingatkan diri Anda, seperti kata pepatah:

Degup jantung seseorang mengatakan kepada dirinya

Sesungguhnya kehidupan hanyalah rangkaian menit dan detik

Imam Hasan Al-Bashri berkata, ”Wahai anak Adam, engkau hanyalah (kumpulan) hari-hari yang bisa dihitung. Setiapkali satu hari berlalu, setiapkali itu pula sebagian dirimu berlalu. Jika sebagian telah berlalu, maka keseluruhannya hampir tiba masanya untuk berlalu.”

Waktu Tidak Bisa Diganti

Setiap hari berlalu, setiap jam lewat, dan setiap kesempatan pergi…tak bisa dikembalikan lagi. Kata Imam Hasan al-Bashri, ”Tidaklah ada satu hari pun di mana fajar merekah, kecuali si hari berseru, “Wahai anak Adam, aku adalah makhluk yang baru, dan menjadi saksi atas perbuatanmu. Maka ambillah bekal dariku, karena aku tidak akan pernah kembali sampai hari kiamat kelak”.”

Oleh karena itulah sebuah riwayat berpesan kepada kita untuk mempergunakan waktu kita secara maksimal.

“Pergunakanlah secara maksimal lima perkara sebelum datang lima perkara yang lain : Masa hidupmu sebelum datang masa matimu, masa mudamu sebelum datang masa tuamu, masa sehatmu sebelum datang masa sakitmu, masa luangmu sebelum datang masa sibukmu, dan masa kayamu sebelum datang masa miskinmu.

Waktu Berlalu dengan Cepat

Waktu bergerak bak awan, berhembus laksana angin. Sebuah syair mengatakan:

Tahun-tahun terus-menerus berlalu dengan tenang

Karena pendeknya, ia laksana beberapa hari saja

Disusul oleh hari-hari penuh kekacauan

Begitu lamanya hingga ia laksana bertahun-tahun

Tahun-tahun dan pelakunya pun berlalu

Seakan-akan semuanya hanyalah mimpi

Cobalah untuk melihat sekilas umur Anda yang telah lewat sepanjang masa kehidupan Anda, maka Anda akan menemukannya ringkas -betapapun lamanya-, seolah-olah ia hanya sekejap saja.

Ketika mati, tahun-tahun dan dekade-dekade kehidupan seorang manusia akan diringkas sehingga seakan-akan hanya sedikit kesempatan yang lewat begitu saja, seperti lintasan kilat. Begitu juga hari kiamat. Allah Ta’ala berfirman :

Pada hari mereka melihat azab yang diancamkan kepada mereka, mereka merasa seakan-akan tidak tinggal di dunia melainkan sesaat pada siang hari. (QS. al-Ahqaf [46]:35).

Orang-orang saleh menceritakan kisah sesepuh para rasul, Nuh ‘alaihi salam. Malaikat maut datang kepada beliau untuk mencabut nyawanya, setelah beliau hidup hampir selama seribu tahun sebelum dan sesudah terjadinya banjir yang menenggelamkan dunia. Malaikat maut bertanya, ”Wahai Nabi yang paling panjang usianya! Bagaimana anda mendapati dunia?” Nabi Nuh menjawab, ”Ia laksana sebuah rumah yang mempuyai dua pintu. Aku memasukinya lewat salah satu pintu dan keluar dari pintu yang lain!”

Setiap orang di antara kita mengetahui bahwa waktu berlalu dengan begitu cepat, namun kita tidak menyadarinya. Ia berlalu, namun kita tidak merasakannya. Berapa banyak waktu yang kita habiskan sekedar untuk melakukan kegiatan rutinitas harian? Misalkan umur manusia rata-rata adalah 60 tahun, maka kita bisa melihat bagaimana kita menghabiskan sebagian umur kita. Ada baiknya kita perhatikan tabel berikut ini:

No

Aktifitas


Keseluruhan Waktu Dalam 60 Tahun

1


Mengikat tali sepatu


8 hari

2


Menunggu rambu-rambu lalulintas


1 bulan

3


Waktu yang dihabiskan di tukang cukur


1 bulan

4


Naik lift (di kota-kota besar)


3 bulan

5


Gosok gigi


3 bulan

6


Menunggu bis (di kota-kota besar)


5 bulan

7


Waktu yang dihabiskan di kamar mandi


6 bulan

8


Membaca buku


2 tahun

9


Waktu makan


4 tahun

10


Mencari rizki


9 tahun

11


Tidur


20 tahun

Dari sini, baik kita sepakat atau tidak atas tabel ini, kita semua menyadari dengan baik bahwa waktu berlalu begitu cepat dan tidak memberi kita kesempatan untuk mempergunakannya secara maksimal.

Memanfaatkan Waktu Secara Maksimal Menambah Nilai Waktu

Sesungguhnya tugas-tugas besar bisa diselesaikan dengan sukses manakala seorang manusia mampu mempergunakan waktunya secara proporsional. Begitu pula standar untuk menilai kemajuan, kemegahan dan kebangkitan peradaban sebuah bangsa adalah kemampuan pribadi-pribadinya untuk mempergunakan dan memenej waktunya dengan baik. Tingkat produktifitas seorang pekerja di Amerika dan Jepang jauh lebih besar dari tingkat produktifitas di negara-negara berkembang, —data statistik terakhir menyebutkan [tingkat produktifitas di negara-negara berkembang, pen] hanya 36 menit per hari!

Cara Syetan

Setan mengadakan konferensi iblis, syaitan dan jin. Dalam pembukaannya konferensi tersebut dikatakannya: “Kita tidak dapat melarang kaum muslim ke masjid. Kita tidak dapat melarang mereka membaca Al-Qur’an dan mencari kebenaran. Bahkan kita tidak dapat melarang mereka mendekatkan diri dengan tuhan mereka Allah dan pembawa risalahNya Muhammad. Pada saat mereka melakukan hubungan dengan Allah, maka kekuatan kita akan lumpuh. Oleh sebab itu, biarkanlah mereka pergi ke masjid; biarkan mereka tetap melakukan kesukaan mereka, TETAPI CURI WAKTU MEREKA, sehingga mereka tidak lagi punya waktu untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah”.


“Inilah yang akan kita lakukan,” kata iblis. “Alihkan perhatian mereka dari usaha meningkatkan kedekatannya kepada Allah dan awasi terus kegiatannya sepanjang hari!” “Bagaimana kami melakukannya? ” tanya para hadirin yaitu iblis, syaitan, dan jin. “Sibukkan mereka dengan hal-hal yang tidak penting dalam kehidupan mereka, dan ciptakan tipu daya untuk menyibukkan fikiran mereka,” jawab sang iblis.

“Rayu mereka agar suka BELANJA, BELANJA DAN BELANJA SERTA BERHUTANG,BERHUTANG DAN BERHUTANG. Bujuk para istri untuk bekerja di luar rumah sepanjang hari dan para suami bekerja 6 sampai 7 hari dalam seminggu, 10 – 12 jam seminggu, sehingga mereka merasa bahwa hidup ini sangat kosong. Jangan biarkan mereka menghabiskan waktu bersama anak-anak mereka”.

“Jika keluarga mereka mulai tidak harmonis, maka mereka akan merasa bahwa rumah bukanlah tempat mereka melepaskan lelah sepulang dari bekerja. Dorong terus cara berfikir seperti itu sehingga mereka tidak merasa ada ketenangan di rumah. Pikat mereka untuk membunyikan radio atau kaset selama mereka berkendaraan”.

“Dorong mereka untuk menyetel TV, VCD, CD dan PC dirumah sepanjang hari. Bunyikan musik terus-menerus di semua restoran maupun toko-toko di dunia ini. Hal ini akan mempengaruhi fikiran mereka dan merusak hubungan mereka dengan Allah dan RasulNya.”

“Penuhi meja-meja rumah mereka dengan majalah-majalah dan tabloid. Cekoki mereka dengan berbagai berita dan gosip selama 24 jam sehari. Serang mereka dengan berbagai iklan-iklan dij alanan. Banjiri kotak surat mereka dengan informasi tak berguna, katalog-katalog, undian-undian, tawaran-tawaran dari berbagai macam iklan”.

“Muat gambaran wanita yang cantik itu adalah yang langsing dan berkulit mulus di majalah dan TV, untuk menggiring para suami berfikir bahwa PENAMPILAN itu menjadi unsur terpenting, sehingga membuat para suami tidak tertarik lagi pada istri-istri mereka. Buatlah para istri menjadi sangat letih pada malam hari, buatlah mereka sering sakit kepala”.

“Jika para istri tidak memberikan cinta yang diinginkan sang suami, maka akan mulai mencari di luaran” Hal inilah yang akan mempercepat retaknya sebuah keluarga”.

“Terbitkan buku-buku cerita untuk mengalihkan kesempatan mereka untuk mengajarkan anak-anak mereka akan makna shalat. Sibukkan mereka sehingga tidak lagi punya waktu untuk mengkaji bagaimana Allah menciptakan alam semesta. Arahkan mereka ketempat-tempat hiburan, fitness, pertandingan- pertandingan, konser musik dan bioskop.”

Buatlah mereka menjadi SIBUK, SIBUK DAN SIBUK.

“Perhatikan, jika mereka jumpa dengan orang shaleh, bisikkan gosip-gosip dan percakapan tidak berarti, sehingga percakapan mereka tidak berdampak apa-apa.”

“Isi kehidupan mereka dengan keindahan-keindahan semu yang akan membuat mereka tidak punya waktu untuk mengkaji kebesaran Allah. Dan dengan segera mereka akan merasa bahwa keberhasilan, kebaikan/kesehatan keluarga adalah merupakan hasil usahanya yang kuat (bukan atas izin Allah).”

“PASTI BERHASIL, PASTI BERHASIL. RENCANA YANG BAGUS.”

Iblis, syaitan dan jin kemudian pergi dengan penuh semangat melakukan tugas MEMBUAT KAUM MUSLIM MENJADI LEBIH SIBUK, LEBIH KALANG KABUT, DAN SENANG HURA-HURA. Dan hanya menyisakan sedikit saja waktu buat Allah Sang Pencipta. Tidak lagi punya waktu untuk bersilaturahmi dan saling mengingatkan akan Allah dan RasulNya.

Sekarang pertanyaannya adalah, APAKAH RENCANA IBLIS INI AKAN BERHASIL? ANDALAH YANG MENENTUKAN!!!

LIMA NASEHAT ALQURAN UNTUK ORANG KAYA

LIMA NASEHAT ALQURAN UNTUK ORANG KAYA

Ini juga nasehat untuk orang kaya yang berbentuk cerita Qorun dalam alquran, harta menurut alquran bagaimana? apakah harta itu anugrah ataukah ujian kepada manusia? Lalu bagaimana sikap kita terhadap harta ini?

Harta dapat menjadi nikmat apabila yang ia dicari dengan jalan halal dan dikeluarkan di jalan Allah, islam tidak hanya menjelaskan apa harta itu, untuk apa harta itu tetapi darimana diperoleh dan bagaimana menyalurkannya?

Apabila harta itu diperoleh atas jalan yang dilarang oleh Allah maka harta itu adalah bencana yang dikirim oleh Allah didunia sebelum bencana diakhiratnya, ada bermacam-macam pertanyaan Allah ketika menginjak padang mahsyar salah satunya adalah mengenai hartanya dan jawabannya itu akan menjadikan dia tergolong orang yang selamat yang akan digiring ke surga ataukah jatuh ke neraka.

Al-anfal 28 “Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar[8:28]. Disana gamblang bahwa harta itu merupakan ujian dan cobaan kepada manusia setiap ujian itu pasti ada yang sukses dan ada juga yang gagal, yang selamat melewati ujian ini akan mendapat pahala yang besar dihadapan Allah.

Apabila mensyukuri pastilah akan ditambah oleh Allah dan yang mengkufuri ada azab yang pedih dari Allah. Sesungguhnya harta dan anak kalian adalah fitnah ujian dan cobaan. Karena itu jangan terlalu bangga dengan ujian kita belum tentu kita selamat atas ujian ini.

Harta ini merupakan ujian agar menampak indah dan tidak akan orang berhias dengan hartanya selamanya, harta dan anak merupakan hiasan dunia tapi sesungguhnya yang terbaik disisi Allah itu adalah amal sholeh.

Setiap umat itu ada cobaan dan cobaan untuk umat hari ini adalah harta, sebenarnya kikir itu tidak murni jelek, sombong tidak murni jelek tapi dimana diletakkan maka akan ketahuan keliatan jelek ataukah bagus. Alquran ini menyebutkan harta ini “khoir” sesuatu yang baik, kapan?? kalau digunakan dalam jalan yang baik, harta itu sebaik-baik penolong dijalan Allah.

Harta itu bukan dijadikan tolak ukur kemuliaan dihadapan Allah dan ini ditolak Alquran, itu konsep yang salah yang sebenarnya ialah kalian tidak memberi makan orang miskin dan memuliakan orang yatim, apabila ia mampu memberi semua itu tadi maka ia akan menjadi mulia dihadapan Allah. [al-mukmin 55-56]
[23:55] Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang Kami berikan kepada mereka itu (berarti bahwa)[55], Kami bersegera memberikan kebaikan-kebaikan kepada mereka? Tidak, sebenarnya mereka tidak sadar {1008}[23:56] .

[Qs sabak 37] “Dan sekali-kali bukanlah harta dan bukan (pula) anak-anak kamu yang mendekatkan kamu kepada Kami sedikitpun; tetapi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal (saleh, mereka itulah yang memperoleh balasan yang berlipat ganda disebabkan apa yang telah mereka kerjakan; dan mereka aman sentosa di tempat-tempat yang tinggi (dalam syurga).[34:37]
Bukan berati harta banyak anak banyak ia deket sengan Allah yahg dekat dengan Allah ialah apabila ia gunakan harta untuk beramal sholeh dan anaknya dibimbing kejalan Allah.

Alquran menceritakan orang kafir berpandangan harta mereka akan menyelamatkannya dari siksaan Allah dan akan kekal abadi bersama kenikmatan anggapan ini salah total maka ia jadi sibuk menumpulkan dan menghitung terus tanpa berfikir dia akan mati karena ia menganggap harta ini akan mengekalkannya ia baru sadar ketika sudah berada dalam kuburan tapi sadar saat itu percuma mustahil karena tidak akan kembali ke dunia lagi.

Allah menceritakan kepada kita ceritakan dalam alquran seseorang yang memiliki 2 kebun yang subur dan menghasilkan banyak hasil Allah tidak mendoliminya tidak mengurangi tapi dia masuk ke kebunnya dengan penuh congkak dan sombongnya membanggakan hartanya spontan dibakar habin kedua kebunnya itu ia baru sadar kalau hartanya itu bukan miliknya. kalau ketemu orang yang kaya cepet akrabnya dan memandang orang miskin mata sebelah, suka memamerkan kekayaannya dihadapan orang miskin Qorun pernah show dengan seluruh hartanya. Ia tidak meyakini adanya kiamat dan apabila ada kiamat ia meyakini kalau ia dibangkitkan pasti kaya juga spontan Allah membakar kebunnya dan akhirnya sadar.

Orang menjadi melampaui batas ketika beranggapan tidak butuh yang lain dan berbuat durjana di bumi Allah, kalau Allah mencurahkan semua rizki-Nya maka manusai akan semakin lupa dengan Allah, mak Allah hanya menurunkan sesuai kadarnya karena Allah Maha mengetahui.

Apabila orang sudah gila hartanya maka ia akan lebih kejam lagi daripada penguasa yang dholim, orang yang punya harta ingin mengatur semua Orang ia tidak mau didekte orang ia beranggapan ia yang paling benar dan berkuasa, seperti kaum nabi suaib karena nabi ingin mengatur harta-harta mereka maka yang pertama kali menolak adalah orang-orang yang kaya karena mereka tidak mau diatur. Qorun juga sudah kebal dengan nasehat karena beranggapan harta yang ia peroleh adalah dari kepandaiaanya sendiri bukan dari Allah, kalau Allah berkehendak mengapa Allah tidak membantu mereka (orang miskin) sendiri?? mereka tidak percaya neraka, tidak percaya hari kiamat, ini kadang diungkapkan tanpa sadar.

Orang yang selalu sibuk dengan harta tidak akan pernah konsekuen dengan agama, [alfatah;11] “Orang-orang Badwi yang tertinggal (tidak turut ke Hudaibiyah) akan mengatakan: "Harta dan keluarga kami telah merintangi kami, maka mohonkanlah ampunan untuk kami"; mereka mengucapkan dengan lidahnya apa yang tidak ada dalam hatinya. Katakanlah: "Maka siapakah (gerangan) yang dapat menghalang-halangi kehendak Allah jika Dia menghendaki kemudharatan bagimu atau jika Dia menghendaki manfa'at bagimu. Sebenarnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan[48:11]

Mereka orang-orang yang tidak bergabung dengan rosul dengan berbagai alasan, semua yang membawa kehancuran kita pada dunia dan akhirat itu adalah musuh. Kadang orang yang berharta itu ketika diberi dakwah kepada mereka bukan menjadi dekat kepada Allah tapi menjadikan mereka semakin jauh.

Ada ungkapan yang keliru dan menjauhkan dari Allah yaitu “Cari yang haram susah apalagi yang halal?” Ungkapan ini sangat berbahaya dihadapan Allah, mereka beranggapan kalau mencari yang halal ia pasti mati ini ungkapan yang salah. Harta di akhirat tidak akan pernah kita bawa paling kalau mati yang dibawa cuman kain kafan, bukan berarti kita dilarang menjadi kaya tapi jangan jadikan harta ini adalah tujuan hidup mereka akan tergelincir dalam kehancuran tapi jadikan harta ini sebagai wasilah dan yang menyambung kenikmatan dunia ke Akhirat karena disana kehidupan yang sebenarnya.

Harta ini milik Allah kita tidak punya apa-apa seperti ketika kita lahir dan kita mati cuman bedanya kalau mati kita membawa kain kafan, jangan memuji harta dan jangan pula mencelanya kecuali untuk Allah

Harta adalah sebaik-baik pembantu kita untuk selamat di akhirat, sesial-sial orang ialah apabila ia gila harta dan menuju kepada Allah tanpa membawa bekal, dunia ini adalah ladang kita untuk membangun kehidupan kita di akhirat, harta yang kekal adalah harta yang sudah diberikan untuk Allah. Harta bukan seseatu jika tidak dijadikan untuk amal untuk Allah tapi harta segala sesuatu jika kita gunakan untuk amal.

Mengenai cerita Qorun dalam [Qoshosh ;76-83]
1. Jangan gembira yang berlebihan sampai congkak karena Allah tidak suka sombong sehingga lupa daratan, menerima khikmatan Allah yang membawa lupa kepada pemberi nikmatnya, melupakan semua ketentuan Allah amat gembira ini yang dilarang. Sombong itu menolak kebenaran menolak kebaikan, sombong bukan berarti memakai pakaian yang terbaik, orang yang sadar dirinya darimana berasal maka ia tidak akan congkak lagi,

2. Kejarlah akhirat dari harta-harta ini untuk pelantara memakmurkan kehidupan akhirat, orang dengan hartanya bisa menjadikan ia lebih dekat dengan Allah, jangan jadi orang yang tidak menimati dunia dan di akhirat tidak dapat apa-apa. Harta yang telah keluarkan itu milik kita bukan harta yang masih kita simpen belum pasti milik dia.

3. Pertama Allah tidak memerintahkan mengeluarkan semua harta maka nikmatilah dunia ini, karena Allah senang kalau yang diberi tadi menikmatinya apa yang Allah berikan semua ini niatkan untuk akhirat kitapun memperolehnya pahalanya di akhirat.

Kedua [al-a'rof; 32] Katakanlah: "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?" Katakanlah: "Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat {536}." Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui.

4. Berbuat baik seperti Allah berbuat baik kepadamu, sering manusia menepuk dadanya ia kira semua itu dari kepandaiaanya bukankah Allah yang mengirim semua ini kembalinya semuanya dari Allah, kitakan tidak mau Allah memutus rizki kita maka kita harus berbuat baik kepada sesama juga, maka jangan putus rizki orang-orang yang membutuhkan dari harta-hartamu, apabila kita berbuat baik maka yang pertama kali untung pertama kali adalah sipemberi karena pahalanya dilipat gandakan Allah baru orang lain merasakannya, kikir berarti kikir untuk dirnya sendiri.

5. Jangan berbuat durjana melalui harta ini untuk meresahkan bumi Allah, harta ini akan menjadi bencana bila yang memegang tangan yang salah, berapa banyak orang yang tunduk oleh orang berharta, undang-undang bisa diubah oleh orang-orang berharta, bacalah surat (al-Qolam dan al-kahfi).

Sumber :
- Sentuhan Qolbu Bersama Habib Muhammad bin Alwi Pasrusuhan

Rabu, 23 Mei 2012

Kisah Teladan : Terkenal di Langit tak di kenal di Bumi… Oleh : MH Subhanallah sebuah kisah Tauladan yang sangat luar biasa, yang mungkin tidak akan kita jumpai lagi hamba Allah yang seperti di dalam kisah ini di jaman sekarang…….bacalah Insyaallah bermanfaat ….. Pada zaman Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, ada seorang pemuda bermata biru, rambutnya merah, pundaknya lapang panjang, berpenampilan cukup tampan, kulitnya kemerah-merahan, dagunya menempel di dada selalu melihat pada tempat sujudnya, tangan kanannya menumpang pada tangan kirinya, ahli membaca Al Qur’an dan matanya mudah meneteskan airmata, pakaiannya hanya dua helai sudah kusut yang satu untuk penutup badan dan yang satunya untuk selendangan, tiada orang yang menghiraukan, tak dikenal oleh penduduk bumi akan tetapi sangat terkenal di langit. Pernah seorang fuqoha’ negeri Kuffah, karena ingin duduk dengannya, memberinya hadiah dua helai pakaian, tapi tak berhasil dengan baik, karena hadiah pakaian tadi diterima lalu dikembalikan lagi olehnya seraya berkata : “Aku khawatir, nanti sebagian orang menuduh aku, dari mana kamu dapatkan pakaian itu, kalau tidak dari membujuk pasti dari mencuri”. Pemuda dari Yaman ini telah lama menjadi yatim, tak punya sanak famili kecuali hanya ibunya yang telah tua renta dan lumpuh. Hanya penglihatan kabur yang masih tersisa. Untuk mencukupi kehidupannya sehari-hari, Uwais bekerja sebagai penggembala kambing. Upah yang diterimanya hanya cukup untuk sekedar menopang kesehariannya bersama Sang ibu, bila ada kelebihan, ia pergunakan untuk membantu tetangganya yang hidup miskin dan serba kekurangan seperti keadaannya. Kesibukannya sebagai penggembala domba dan merawat ibunya yang lumpuh dan buta, tidak mempengaruhi kegigihan ibadahnya, ia tetap melakukan puasa di siang hari dan bermunajat di malam harinya. Uwais al-Qarni telah memeluk Islam pada masa negeri Yaman mendengar seruan Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam. yang telah mengetuk pintu hati mereka untuk menyembah Allah, Tuhan Yang Maha Esa, yang tak ada sekutu bagi-Nya. Islam mendidik setiap pemeluknya agar berakhlak luhur. Peraturan-peraturan yang terdapat di dalamnya sangat menarik hati Uwais, sehingga setelah seruan Islam datang di negeri Yaman, ia segera memeluknya, karena selama ini hati Uwais selalu merindukan datangnya kebenaran. Banyak tetangganya yang telah memeluk Islam, pergi ke Madinah untuk mendengarkan ajaran Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam secara langsung. Sekembalinya di Yaman, mereka memperbarui rumah tangga mereka dengan cara kehidupan Islam. Alangkah sedihnya hati Uwais setiap melihat tetangganya yang baru datang dari Madinah. Mereka itu telah “bertamu dan bertemu” dengan kekasih Allah penghulu para Nabi, sedang ia sendiri belum. Kecintaannya kepada Rasulullah menumbuhkan kerinduan yang kuat untuk bertemu dengan sang kekasih, tapi apalah daya ia tak punya bekal yang cukup untuk ke Madinah, dan yang lebih ia beratkan adalah sang ibu yang jika ia pergi, tak ada yang merawatnya. Hari berganti dan musim berlalu, dan kerinduan yang tak terbendung membuat hasrat untuk bertemu tak dapat dipendam lagi. Uwais merenungkan diri dan bertanya dalam hati, kapankah ia dapat menziarahi Nabinya dan memandang wajah beliau dari dekat ? Tapi, bukankah ia mempunyai ibu yang sangat membutuhkan perawatannya dan tak tega ditinggalkan sendiri, hatinya selalu gelisah siang dan malam menahan kerinduan untuk berjumpa. Akhirnya, pada suatu hari Uwais mendekati ibunya, mengeluarkan isi hatinya dan memohon izin kepada ibunya agar diperkenankan pergi menziarahi Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam di Madinah. Sang ibu, walaupun telah uzur, merasa terharu ketika mendengar permohonan anaknya. Beliau memaklumi perasaan Uwais, dan berkata : “Pergilah wahai anakku ! temuilah Nabi di rumahnya. Dan bila telah berjumpa, segeralah engkau kembali pulang”. Dengan rasa gembira ia berkemas untuk berangkat dan tak lupa menyiapkan keperluan ibunya yang akan ditinggalkan serta berpesan kepada tetangganya agar dapat menemani ibunya selama ia pergi. Sesudah berpamitan sambil menciumi sang ibu, berangkatlah Uwais menuju Madinah yang berjarak kurang lebih empat ratus kilometer dari Yaman. Medan yang begitu ganas dilaluinya, tak peduli penyamun gurun pasir, bukit yang curam, gurun pasir yang luas yang dapat menyesatkan dan begitu panas di siang hari, serta begitu dingin di malam hari, semuanya dilalui demi bertemu dan dapat memandang sepuas-puasnya paras baginda Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam yang selama ini dirindukannya. Tibalah Uwais al-Qarni di kota Madinah. Segera ia menuju ke rumah Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, diketuknya pintu rumah itu sambil mengucapkan salam. Keluarlah sayyidatina ‘Aisyah radiyallahu anhu, sambil menjawab salam Uwais. Segera saja Uwais menanyakan Nabi yang ingin dijumpainya. Namun ternyata beliau Shalallahu ‘Alaihi Wasallam tidak berada di rumah melainkan berada di medan perang. Betapa kecewa hati sang perindu, dari jauh ingin berjumpa tetapi yang dirindukannya tak berada di rumah. Dalam hatinya bergolak perasaan ingin menunggu kedatangan Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam dari medan perang. Tapi, kapankah beliau pulang ? Sedangkan masih terngiang di telinga pesan ibunya yang sudah tua dan sakit-sakitan itu, agar ia cepat pulang ke Yaman,” Engkau harus lekas pulang”. Karena ketaatan kepada ibunya, pesan ibunya tersebut telah mengalahkan suara hati dan kemauannya untuk menunggu dan berjumpa dengan Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam . Ia akhirnya dengan terpaksa mohon pamit kepada sayyidatina ‘Aisyah r.a. untuk segera pulang ke negerinya. Dia hanya menitipkan salamnya untuk Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam dan melangkah pulang dengan perasaan haru. Sepulangnya dari perang, Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam langsung menanyakan tentang kedatangan orang yang mencarinya. Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam menjelaskan bahwa Uwais al-Qarni adalah anak yang taat kepada ibunya. Ia adalah penghuni langit (sangat terkenal di langit). Mendengar perkataan Rosulullah, sayyidatina ‘Aisyah r.a. dan para sahabatnya tertegun. Menurut informasi sayyidatina ‘Aisyah r.a., memang benar ada yang mencari Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam dan segera pulang kembali ke Yaman, karena ibunya sudah tua dan sakit-sakitan sehingga ia tidak dapat meninggalkan ibunya terlalu lama. Rosulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda : “Kalau kalian ingin berjumpa dengan dia (Uwais al-Qarni), perhatikanlah, ia mempunyai tanda putih di tengah-tengah telapak tangannya.” Sesudah itu beliau Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, memandang kepada sayyidina Ali r.a dan sayyidina Umar r.a. dan bersabda : “Suatu ketika, apabila kalian bertemu dengan dia, mintalah do’a dan istighfarnya, dia adalah penghuni langit dan bukan penghuni bumi”. Tahun terus berjalan, dan tak lama kemudian Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam wafat, hingga kekhalifahan sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. telah di estafetkan Khalifah Umar r.a. Suatu ketika, khalifah Umar teringat akan sabda Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam tentang Uwais al-Qarni, sang penghuni langit. Beliau segera mengingatkan kepada sayyidina Ali r.a untuk mencarinya bersama. Sejak itu, setiap ada kafilah yang datang dari Yaman, beliau berdua selalu menanyakan tentang Uwais al-Qorni, apakah ia turut bersama mereka. Diantara kafilah-kafilah itu ada yang merasa heran, apakah sebenarnya yang terjadi sampai-sampai ia dicari oleh beliau berdua. Rombongan kafilah dari Yaman menuju Syam silih berganti, membawa barang dagangan mereka. Suatu ketika, Uwais al-Qorni turut bersama rombongan kafilah menuju kota Madinah. Melihat ada rombongan kafilah yang datang dari Yaman, segera khalifah Umar dan sayyidina Ali mendatangi mereka dan menanyakan apakah Uwais turut bersama mereka. Rombongan itu mengatakan bahwa ia ada bersama mereka dan sedang menjaga unta-unta mereka di perbatasan kota. Mendengar jawaban itu, beliau berdua bergegas pergi menemui Uwais al-Qorni. Sesampainya di kemah tempat Uwais berada, Khalifah Umar dan sayyidina Ali memberi salam. Namun rupanya Uwais sedang melaksanakan sholat. Setelah mengakhiri shalatnya, Uwais menjawab salam kedua tamu agung tersebut sambil bersalaman. Sewaktu berjabatan, Khalifah Umar segera membalikkan tangan Uwais, untuk membuktikan kebenaran tanda putih yang berada ditelapak tangan Uwais, sebagaimana pernah disabdakan oleh baginda Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam. Memang benar ! Dia penghuni langit. Dan ditanya Uwais oleh kedua tamu tersebut, siapakah nama saudara ? “Abdullah”, jawab Uwais. Mendengar jawaban itu, kedua sahabatpun tertawa dan mengatakan : “Kami juga Abdullah, yakni hamba Allah. Tapi siapakah namamu yang sebenarnya ?” Uwais kemudian berkata: “Nama saya Uwais al-Qorni”. Dalam pembicaraan mereka, diketahuilah bahwa ibu Uwais telah meninggal dunia. Itulah sebabnya, ia baru dapat turut bersama rombongan kafilah dagang saat itu. Akhirnya, Khalifah Umar dan Sayyidina Ali memohon agar Uwais berkenan mendo’akan untuk mereka. Uwais enggan dan dia berkata kepada khalifah: “Sayalah yang harus meminta do’a kepada kalian”. Mendengar perkataan Uwais, Khalifah berkata: “Kami datang ke sini untuk mohon do’a dan istighfar dari anda”. Karena desakan kedua sahabat ini, Uwais al-Qorni akhirnya mengangkat kedua tangannya, berdo’a dan membacakan istighfar. Setelah itu Khalifah Umar r.a. berjanji untuk menyumbangkan uang negara dari Baitul Mal kepada Uwais, untuk jaminan hidupnya. Segera saja Uwais menolak dengan halus dengan berkata : “Hamba mohon supaya hari ini saja hamba diketahui orang. Untuk hari-hari selanjutnya, biarlah hamba yang fakir ini tidak diketahui orang lagi”. Beberapa waktu kemudian, tersiar kabar kalau Uwais al-Qorni telah pulang ke rahmatullah. Anehnya, pada saat dia akan dimandikan tiba-tiba sudah banyak orang yang berebutan untuk memandikannya. Dan ketika dibawa ke tempat pembaringan untuk dikafani, di sana sudah ada orang-orang yang menunggu untuk mengkafaninya. Demikian pula ketika orang pergi hendak menggali kuburnya. Di sana ternyata sudah ada orang-orang yang menggali kuburnya hingga selesai. Ketika usungan dibawa menuju ke pekuburan, luar biasa banyaknya orang yang berebutan untuk mengusungnya. Dan Syeikh Abdullah bin Salamah (Syeikh Abdullah bin Salamah adalah orang yang pernah ikut berperang bersama Uwais al-Qorni pada masa pemerintahan sayyidina Umar r.a.) menjelaskan, “ketika aku ikut mengurusi jenazahnya hingga aku pulang dari mengantarkan jenazahnya, lalu aku bermaksud untuk kembali ke tempat penguburannya guna memberi tanda pada kuburannya, akan tetapi sudah tak terlihat ada bekas kuburannya. Meninggalnya Uwais al-Qorni telah menggemparkan masyarakat kota Yaman. Banyak terjadi hal-hal yang amat mengherankan. Sedemikian banyaknya orang yang tak dikenal berdatangan untuk mengurus jenazah dan pemakamannya, padahal Uwais adalah seorang fakir yang tak dihiraukan orang. Sejak ia dimandikan sampai ketika jenazahnya hendak diturunkan ke dalam kubur, di situ selalu ada orang-orang yang telah siap melaksanakannya terlebih dahulu. Penduduk kota Yaman tercengang. Mereka saling bertanya-tanya : “Siapakah sebenarnya engkau wahai Uwais al-Qorni ? Bukankah Uwais yang kita kenal, hanyalah seorang fakir yang tak memiliki apa-apa, yang kerjanya hanyalah sebagai penggembala domba dan unta ? Tapi, ketika hari wafatmu, engkau telah menggemparkan penduduk Yaman dengan hadirnya manusia-manusia asing yang tidak pernah kami kenal. Mereka datang dalam jumlah sedemikian banyaknya. Agaknya mereka adalah para malaikat yang di turunkan ke bumi, hanya untuk mengurus jenazah dan pemakamannya. Baru saat itulah penduduk Yaman mengetahuinya siapa “Uwais al-Qorni” ternyata ia tak terkenal di bumi tapi terkenal di langit.

Kisah Teladan : Kisah Teladan : Terkenal di Langit tak di kenal di Bumi…

Subhanallah sebuah kisah Tauladan yang sangat luar biasa, yang mungkin tidak akan kita jumpai lagi hamba Allah yang seperti di dalam kisah ini di jaman sekarang…….bacalah Insyaallah bermanfaat …..
Pada zaman Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, ada seorang pemuda bermata biru, rambutnya merah, pundaknya lapang panjang, berpenampilan cukup tampan, kulitnya kemerah-merahan, dagunya menempel di dada selalu melihat pada tempat sujudnya, tangan kanannya menumpang pada tangan kirinya, ahli membaca Al Qur’an dan matanya mudah meneteskan airmata, pakaiannya hanya dua helai sudah kusut yang satu untuk penutup badan dan yang satunya untuk selendangan, tiada orang yang menghiraukan, tak dikenal oleh penduduk bumi akan tetapi sangat terkenal di langit. Pernah seorang fuqoha’ negeri Kuffah, karena ingin duduk dengannya, memberinya hadiah dua helai pakaian, tapi tak berhasil dengan baik, karena hadiah pakaian tadi diterima lalu dikembalikan lagi olehnya seraya berkata : “Aku khawatir, nanti sebagian orang menuduh aku, dari mana kamu dapatkan pakaian itu, kalau tidak dari membujuk pasti dari mencuri”.
Pemuda dari Yaman ini telah lama menjadi yatim, tak punya sanak famili kecuali hanya ibunya yang telah tua renta dan lumpuh. Hanya penglihatan kabur yang masih tersisa. Untuk mencukupi kehidupannya sehari-hari, Uwais bekerja sebagai penggembala kambing. Upah yang diterimanya hanya cukup untuk sekedar menopang kesehariannya bersama Sang ibu, bila ada kelebihan, ia pergunakan untuk membantu tetangganya yang hidup miskin dan serba kekurangan seperti keadaannya. Kesibukannya sebagai penggembala domba dan merawat ibunya yang lumpuh dan buta, tidak mempengaruhi kegigihan ibadahnya, ia tetap melakukan puasa di siang hari dan bermunajat di malam harinya. Uwais al-Qarni telah memeluk Islam pada masa negeri Yaman mendengar seruan Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam. yang telah mengetuk pintu hati mereka untuk menyembah Allah, Tuhan Yang Maha Esa, yang tak ada sekutu bagi-Nya. Islam mendidik setiap pemeluknya agar berakhlak luhur. Peraturan-peraturan yang terdapat di dalamnya sangat menarik hati Uwais, sehingga setelah seruan Islam datang di negeri Yaman, ia segera memeluknya, karena selama ini hati Uwais selalu merindukan datangnya kebenaran. Banyak tetangganya yang telah memeluk Islam, pergi ke Madinah untuk mendengarkan ajaran Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam secara langsung. Sekembalinya di Yaman, mereka memperbarui rumah tangga mereka dengan cara kehidupan Islam. Alangkah sedihnya hati Uwais setiap melihat tetangganya yang baru datang dari Madinah. Mereka itu telah “bertamu dan bertemu” dengan kekasih Allah penghulu para Nabi, sedang ia sendiri belum. Kecintaannya kepada Rasulullah menumbuhkan kerinduan yang kuat untuk bertemu dengan sang kekasih, tapi apalah daya ia tak punya bekal yang cukup untuk ke Madinah, dan yang lebih ia beratkan adalah sang ibu yang jika ia pergi, tak ada yang merawatnya. Hari berganti dan musim berlalu, dan kerinduan yang tak terbendung membuat hasrat untuk bertemu tak dapat dipendam lagi. Uwais merenungkan diri dan bertanya dalam hati, kapankah ia dapat menziarahi Nabinya dan memandang wajah beliau dari dekat ? Tapi, bukankah ia mempunyai ibu yang sangat membutuhkan perawatannya dan tak tega ditinggalkan sendiri, hatinya selalu gelisah siang dan malam menahan kerinduan untuk berjumpa. Akhirnya, pada suatu hari Uwais mendekati ibunya, mengeluarkan isi hatinya dan memohon izin kepada ibunya agar diperkenankan pergi menziarahi Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam di Madinah. Sang ibu, walaupun telah uzur, merasa terharu ketika mendengar permohonan anaknya. Beliau memaklumi perasaan Uwais, dan berkata : “Pergilah wahai anakku ! temuilah Nabi di rumahnya. Dan bila telah berjumpa, segeralah engkau kembali pulang”. Dengan rasa gembira ia berkemas untuk berangkat dan tak lupa menyiapkan keperluan ibunya yang akan ditinggalkan serta berpesan kepada tetangganya agar dapat menemani ibunya selama ia pergi. Sesudah berpamitan sambil menciumi sang ibu, berangkatlah Uwais menuju Madinah yang berjarak kurang lebih empat ratus kilometer dari Yaman. Medan yang begitu ganas dilaluinya, tak peduli penyamun gurun pasir, bukit yang curam, gurun pasir yang luas yang dapat menyesatkan dan begitu panas di siang hari, serta begitu dingin di malam hari, semuanya dilalui demi bertemu dan dapat memandang sepuas-puasnya paras baginda Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam yang selama ini dirindukannya.
Tibalah Uwais al-Qarni di kota Madinah. Segera ia menuju ke rumah Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, diketuknya pintu rumah itu sambil mengucapkan salam. Keluarlah sayyidatina ‘Aisyah radiyallahu anhu, sambil menjawab salam Uwais. Segera saja Uwais menanyakan Nabi yang ingin dijumpainya. Namun ternyata beliau Shalallahu ‘Alaihi Wasallam tidak berada di rumah melainkan berada di medan perang. Betapa kecewa hati sang perindu, dari jauh ingin berjumpa tetapi yang dirindukannya tak berada di rumah. Dalam hatinya bergolak perasaan ingin menunggu kedatangan Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam dari medan perang. Tapi, kapankah beliau pulang ? Sedangkan masih terngiang di telinga pesan ibunya yang sudah tua dan sakit-sakitan itu, agar ia cepat pulang ke Yaman,” Engkau harus lekas pulang”. Karena ketaatan kepada ibunya, pesan ibunya tersebut telah mengalahkan suara hati dan kemauannya untuk menunggu dan berjumpa dengan Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam . Ia akhirnya dengan terpaksa mohon pamit kepada sayyidatina ‘Aisyah r.a. untuk segera pulang ke negerinya. Dia hanya menitipkan salamnya untuk Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam dan melangkah pulang dengan perasaan haru. Sepulangnya dari perang, Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam langsung menanyakan tentang kedatangan orang yang mencarinya. Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam menjelaskan bahwa Uwais al-Qarni adalah anak yang taat kepada ibunya. Ia adalah penghuni langit (sangat terkenal di langit). Mendengar perkataan Rosulullah, sayyidatina ‘Aisyah r.a. dan para sahabatnya tertegun. Menurut informasi sayyidatina ‘Aisyah r.a., memang benar ada yang mencari Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam dan segera pulang kembali ke Yaman, karena ibunya sudah tua dan sakit-sakitan sehingga ia tidak dapat meninggalkan ibunya terlalu lama. Rosulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda : “Kalau kalian ingin berjumpa dengan dia (Uwais al-Qarni), perhatikanlah, ia mempunyai tanda putih di tengah-tengah telapak tangannya.” Sesudah itu beliau Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, memandang kepada sayyidina Ali r.a dan sayyidina Umar r.a. dan bersabda : “Suatu ketika, apabila kalian bertemu dengan dia, mintalah do’a dan istighfarnya, dia adalah penghuni langit dan bukan penghuni bumi”.
Tahun terus berjalan, dan tak lama kemudian Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam wafat, hingga kekhalifahan sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. telah di estafetkan Khalifah Umar r.a. Suatu ketika, khalifah Umar teringat akan sabda Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam tentang Uwais al-Qarni, sang penghuni langit. Beliau segera mengingatkan kepada sayyidina Ali r.a untuk mencarinya bersama. Sejak itu, setiap ada kafilah yang datang dari Yaman, beliau berdua selalu menanyakan tentang Uwais al-Qorni, apakah ia turut bersama mereka. Diantara kafilah-kafilah itu ada yang merasa heran, apakah sebenarnya yang terjadi sampai-sampai ia dicari oleh beliau berdua. Rombongan kafilah dari Yaman menuju Syam silih berganti, membawa barang dagangan mereka. Suatu ketika, Uwais al-Qorni turut bersama rombongan kafilah menuju kota Madinah. Melihat ada rombongan kafilah yang datang dari Yaman, segera khalifah Umar dan sayyidina Ali mendatangi mereka dan menanyakan apakah Uwais turut bersama mereka. Rombongan itu mengatakan bahwa ia ada bersama mereka dan sedang menjaga unta-unta mereka di perbatasan kota. Mendengar jawaban itu, beliau berdua bergegas pergi menemui Uwais al-Qorni. Sesampainya di kemah tempat Uwais berada, Khalifah Umar dan sayyidina Ali memberi salam. Namun rupanya Uwais sedang melaksanakan sholat. Setelah mengakhiri shalatnya, Uwais menjawab salam kedua tamu agung tersebut sambil bersalaman. Sewaktu berjabatan, Khalifah Umar segera membalikkan tangan Uwais, untuk membuktikan kebenaran tanda putih yang berada ditelapak tangan Uwais, sebagaimana pernah disabdakan oleh baginda Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam. Memang benar ! Dia penghuni langit. Dan ditanya Uwais oleh kedua tamu tersebut, siapakah nama saudara ? “Abdullah”, jawab Uwais. Mendengar jawaban itu, kedua sahabatpun tertawa dan mengatakan : “Kami juga Abdullah, yakni hamba Allah. Tapi siapakah namamu yang sebenarnya ?” Uwais kemudian berkata: “Nama saya Uwais al-Qorni”. Dalam pembicaraan mereka, diketahuilah bahwa ibu Uwais telah meninggal dunia. Itulah sebabnya, ia baru dapat turut bersama rombongan kafilah dagang saat itu. Akhirnya, Khalifah Umar dan Sayyidina Ali memohon agar Uwais berkenan mendo’akan untuk mereka. Uwais enggan dan dia berkata kepada khalifah: “Sayalah yang harus meminta do’a kepada kalian”. Mendengar perkataan Uwais, Khalifah berkata: “Kami datang ke sini untuk mohon do’a dan istighfar dari anda”. Karena desakan kedua sahabat ini, Uwais al-Qorni akhirnya mengangkat kedua tangannya, berdo’a dan membacakan istighfar. Setelah itu Khalifah Umar r.a. berjanji untuk menyumbangkan uang negara dari Baitul Mal kepada Uwais, untuk jaminan hidupnya. Segera saja Uwais menolak dengan halus dengan berkata : “Hamba mohon supaya hari ini saja hamba diketahui orang. Untuk hari-hari selanjutnya, biarlah hamba yang fakir ini tidak diketahui orang lagi”.
Beberapa waktu kemudian, tersiar kabar kalau Uwais al-Qorni telah pulang ke rahmatullah. Anehnya, pada saat dia akan dimandikan tiba-tiba sudah banyak orang yang berebutan untuk memandikannya. Dan ketika dibawa ke tempat pembaringan untuk dikafani, di sana sudah ada orang-orang yang menunggu untuk mengkafaninya. Demikian pula ketika orang pergi hendak menggali kuburnya. Di sana ternyata sudah ada orang-orang yang menggali kuburnya hingga selesai. Ketika usungan dibawa menuju ke pekuburan, luar biasa banyaknya orang yang berebutan untuk mengusungnya. Dan Syeikh Abdullah bin Salamah (Syeikh Abdullah bin Salamah adalah orang yang pernah ikut berperang bersama Uwais al-Qorni pada masa pemerintahan sayyidina Umar r.a.) menjelaskan, “ketika aku ikut mengurusi jenazahnya hingga aku pulang dari mengantarkan jenazahnya, lalu aku bermaksud untuk kembali ke tempat penguburannya guna memberi tanda pada kuburannya, akan tetapi sudah tak terlihat ada bekas kuburannya. Meninggalnya Uwais al-Qorni telah menggemparkan masyarakat kota Yaman. Banyak terjadi hal-hal yang amat mengherankan. Sedemikian banyaknya orang yang tak dikenal berdatangan untuk mengurus jenazah dan pemakamannya, padahal Uwais adalah seorang fakir yang tak dihiraukan orang. Sejak ia dimandikan sampai ketika jenazahnya hendak diturunkan ke dalam kubur, di situ selalu ada orang-orang yang telah siap melaksanakannya terlebih dahulu. Penduduk kota Yaman tercengang. Mereka saling bertanya-tanya : “Siapakah sebenarnya engkau wahai Uwais al-Qorni ? Bukankah Uwais yang kita kenal, hanyalah seorang fakir yang tak memiliki apa-apa, yang kerjanya hanyalah sebagai penggembala domba dan unta ? Tapi, ketika hari wafatmu, engkau telah menggemparkan penduduk Yaman dengan hadirnya manusia-manusia asing yang tidak pernah kami kenal. Mereka datang dalam jumlah sedemikian banyaknya. Agaknya mereka adalah para malaikat yang di turunkan ke bumi, hanya untuk mengurus jenazah dan pemakamannya. Baru saat itulah penduduk Yaman mengetahuinya siapa “Uwais al-Qorni” ternyata ia tak terkenal di bumi tapi terkenal di langit.


Subhanallah sebuah kisah Tauladan yang sangat luar biasa, yang mungkin tidak akan kita jumpai lagi hamba Allah yang seperti di dalam kisah ini di jaman sekarang…….bacalah Insyaallah bermanfaat …..
Pada zaman Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, ada seorang pemuda bermata biru, rambutnya merah, pundaknya lapang panjang, berpenampilan cukup tampan, kulitnya kemerah-merahan, dagunya menempel di dada selalu melihat pada tempat sujudnya, tangan kanannya menumpang pada tangan kirinya, ahli membaca Al Qur’an dan matanya mudah meneteskan airmata, pakaiannya hanya dua helai sudah kusut yang satu untuk penutup badan dan yang satunya untuk selendangan, tiada orang yang menghiraukan, tak dikenal oleh penduduk bumi akan tetapi sangat terkenal di langit. Pernah seorang fuqoha’ negeri Kuffah, karena ingin duduk dengannya, memberinya hadiah dua helai pakaian, tapi tak berhasil dengan baik, karena hadiah pakaian tadi diterima lalu dikembalikan lagi olehnya seraya berkata : “Aku khawatir, nanti sebagian orang menuduh aku, dari mana kamu dapatkan pakaian itu, kalau tidak dari membujuk pasti dari mencuri”.
Pemuda dari Yaman ini telah lama menjadi yatim, tak punya sanak famili kecuali hanya ibunya yang telah tua renta dan lumpuh. Hanya penglihatan kabur yang masih tersisa. Untuk mencukupi kehidupannya sehari-hari, Uwais bekerja sebagai penggembala kambing. Upah yang diterimanya hanya cukup untuk sekedar menopang kesehariannya bersama Sang ibu, bila ada kelebihan, ia pergunakan untuk membantu tetangganya yang hidup miskin dan serba kekurangan seperti keadaannya. Kesibukannya sebagai penggembala domba dan merawat ibunya yang lumpuh dan buta, tidak mempengaruhi kegigihan ibadahnya, ia tetap melakukan puasa di siang hari dan bermunajat di malam harinya. Uwais al-Qarni telah memeluk Islam pada masa negeri Yaman mendengar seruan Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam. yang telah mengetuk pintu hati mereka untuk menyembah Allah, Tuhan Yang Maha Esa, yang tak ada sekutu bagi-Nya. Islam mendidik setiap pemeluknya agar berakhlak luhur. Peraturan-peraturan yang terdapat di dalamnya sangat menarik hati Uwais, sehingga setelah seruan Islam datang di negeri Yaman, ia segera memeluknya, karena selama ini hati Uwais selalu merindukan datangnya kebenaran. Banyak tetangganya yang telah memeluk Islam, pergi ke Madinah untuk mendengarkan ajaran Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam secara langsung. Sekembalinya di Yaman, mereka memperbarui rumah tangga mereka dengan cara kehidupan Islam. Alangkah sedihnya hati Uwais setiap melihat tetangganya yang baru datang dari Madinah. Mereka itu telah “bertamu dan bertemu” dengan kekasih Allah penghulu para Nabi, sedang ia sendiri belum. Kecintaannya kepada Rasulullah menumbuhkan kerinduan yang kuat untuk bertemu dengan sang kekasih, tapi apalah daya ia tak punya bekal yang cukup untuk ke Madinah, dan yang lebih ia beratkan adalah sang ibu yang jika ia pergi, tak ada yang merawatnya. Hari berganti dan musim berlalu, dan kerinduan yang tak terbendung membuat hasrat untuk bertemu tak dapat dipendam lagi. Uwais merenungkan diri dan bertanya dalam hati, kapankah ia dapat menziarahi Nabinya dan memandang wajah beliau dari dekat ? Tapi, bukankah ia mempunyai ibu yang sangat membutuhkan perawatannya dan tak tega ditinggalkan sendiri, hatinya selalu gelisah siang dan malam menahan kerinduan untuk berjumpa. Akhirnya, pada suatu hari Uwais mendekati ibunya, mengeluarkan isi hatinya dan memohon izin kepada ibunya agar diperkenankan pergi menziarahi Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam di Madinah. Sang ibu, walaupun telah uzur, merasa terharu ketika mendengar permohonan anaknya. Beliau memaklumi perasaan Uwais, dan berkata : “Pergilah wahai anakku ! temuilah Nabi di rumahnya. Dan bila telah berjumpa, segeralah engkau kembali pulang”. Dengan rasa gembira ia berkemas untuk berangkat dan tak lupa menyiapkan keperluan ibunya yang akan ditinggalkan serta berpesan kepada tetangganya agar dapat menemani ibunya selama ia pergi. Sesudah berpamitan sambil menciumi sang ibu, berangkatlah Uwais menuju Madinah yang berjarak kurang lebih empat ratus kilometer dari Yaman. Medan yang begitu ganas dilaluinya, tak peduli penyamun gurun pasir, bukit yang curam, gurun pasir yang luas yang dapat menyesatkan dan begitu panas di siang hari, serta begitu dingin di malam hari, semuanya dilalui demi bertemu dan dapat memandang sepuas-puasnya paras baginda Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam yang selama ini dirindukannya.
Tibalah Uwais al-Qarni di kota Madinah. Segera ia menuju ke rumah Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, diketuknya pintu rumah itu sambil mengucapkan salam. Keluarlah sayyidatina ‘Aisyah radiyallahu anhu, sambil menjawab salam Uwais. Segera saja Uwais menanyakan Nabi yang ingin dijumpainya. Namun ternyata beliau Shalallahu ‘Alaihi Wasallam tidak berada di rumah melainkan berada di medan perang. Betapa kecewa hati sang perindu, dari jauh ingin berjumpa tetapi yang dirindukannya tak berada di rumah. Dalam hatinya bergolak perasaan ingin menunggu kedatangan Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam dari medan perang. Tapi, kapankah beliau pulang ? Sedangkan masih terngiang di telinga pesan ibunya yang sudah tua dan sakit-sakitan itu, agar ia cepat pulang ke Yaman,” Engkau harus lekas pulang”. Karena ketaatan kepada ibunya, pesan ibunya tersebut telah mengalahkan suara hati dan kemauannya untuk menunggu dan berjumpa dengan Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam . Ia akhirnya dengan terpaksa mohon pamit kepada sayyidatina ‘Aisyah r.a. untuk segera pulang ke negerinya. Dia hanya menitipkan salamnya untuk Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam dan melangkah pulang dengan perasaan haru. Sepulangnya dari perang, Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam langsung menanyakan tentang kedatangan orang yang mencarinya. Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam menjelaskan bahwa Uwais al-Qarni adalah anak yang taat kepada ibunya. Ia adalah penghuni langit (sangat terkenal di langit). Mendengar perkataan Rosulullah, sayyidatina ‘Aisyah r.a. dan para sahabatnya tertegun. Menurut informasi sayyidatina ‘Aisyah r.a., memang benar ada yang mencari Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam dan segera pulang kembali ke Yaman, karena ibunya sudah tua dan sakit-sakitan sehingga ia tidak dapat meninggalkan ibunya terlalu lama. Rosulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda : “Kalau kalian ingin berjumpa dengan dia (Uwais al-Qarni), perhatikanlah, ia mempunyai tanda putih di tengah-tengah telapak tangannya.” Sesudah itu beliau Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, memandang kepada sayyidina Ali r.a dan sayyidina Umar r.a. dan bersabda : “Suatu ketika, apabila kalian bertemu dengan dia, mintalah do’a dan istighfarnya, dia adalah penghuni langit dan bukan penghuni bumi”.
Tahun terus berjalan, dan tak lama kemudian Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam wafat, hingga kekhalifahan sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. telah di estafetkan Khalifah Umar r.a. Suatu ketika, khalifah Umar teringat akan sabda Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam tentang Uwais al-Qarni, sang penghuni langit. Beliau segera mengingatkan kepada sayyidina Ali r.a untuk mencarinya bersama. Sejak itu, setiap ada kafilah yang datang dari Yaman, beliau berdua selalu menanyakan tentang Uwais al-Qorni, apakah ia turut bersama mereka. Diantara kafilah-kafilah itu ada yang merasa heran, apakah sebenarnya yang terjadi sampai-sampai ia dicari oleh beliau berdua. Rombongan kafilah dari Yaman menuju Syam silih berganti, membawa barang dagangan mereka. Suatu ketika, Uwais al-Qorni turut bersama rombongan kafilah menuju kota Madinah. Melihat ada rombongan kafilah yang datang dari Yaman, segera khalifah Umar dan sayyidina Ali mendatangi mereka dan menanyakan apakah Uwais turut bersama mereka. Rombongan itu mengatakan bahwa ia ada bersama mereka dan sedang menjaga unta-unta mereka di perbatasan kota. Mendengar jawaban itu, beliau berdua bergegas pergi menemui Uwais al-Qorni. Sesampainya di kemah tempat Uwais berada, Khalifah Umar dan sayyidina Ali memberi salam. Namun rupanya Uwais sedang melaksanakan sholat. Setelah mengakhiri shalatnya, Uwais menjawab salam kedua tamu agung tersebut sambil bersalaman. Sewaktu berjabatan, Khalifah Umar segera membalikkan tangan Uwais, untuk membuktikan kebenaran tanda putih yang berada ditelapak tangan Uwais, sebagaimana pernah disabdakan oleh baginda Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam. Memang benar ! Dia penghuni langit. Dan ditanya Uwais oleh kedua tamu tersebut, siapakah nama saudara ? “Abdullah”, jawab Uwais. Mendengar jawaban itu, kedua sahabatpun tertawa dan mengatakan : “Kami juga Abdullah, yakni hamba Allah. Tapi siapakah namamu yang sebenarnya ?” Uwais kemudian berkata: “Nama saya Uwais al-Qorni”. Dalam pembicaraan mereka, diketahuilah bahwa ibu Uwais telah meninggal dunia. Itulah sebabnya, ia baru dapat turut bersama rombongan kafilah dagang saat itu. Akhirnya, Khalifah Umar dan Sayyidina Ali memohon agar Uwais berkenan mendo’akan untuk mereka. Uwais enggan dan dia berkata kepada khalifah: “Sayalah yang harus meminta do’a kepada kalian”. Mendengar perkataan Uwais, Khalifah berkata: “Kami datang ke sini untuk mohon do’a dan istighfar dari anda”. Karena desakan kedua sahabat ini, Uwais al-Qorni akhirnya mengangkat kedua tangannya, berdo’a dan membacakan istighfar. Setelah itu Khalifah Umar r.a. berjanji untuk menyumbangkan uang negara dari Baitul Mal kepada Uwais, untuk jaminan hidupnya. Segera saja Uwais menolak dengan halus dengan berkata : “Hamba mohon supaya hari ini saja hamba diketahui orang. Untuk hari-hari selanjutnya, biarlah hamba yang fakir ini tidak diketahui orang lagi”.
Beberapa waktu kemudian, tersiar kabar kalau Uwais al-Qorni telah pulang ke rahmatullah. Anehnya, pada saat dia akan dimandikan tiba-tiba sudah banyak orang yang berebutan untuk memandikannya. Dan ketika dibawa ke tempat pembaringan untuk dikafani, di sana sudah ada orang-orang yang menunggu untuk mengkafaninya. Demikian pula ketika orang pergi hendak menggali kuburnya. Di sana ternyata sudah ada orang-orang yang menggali kuburnya hingga selesai. Ketika usungan dibawa menuju ke pekuburan, luar biasa banyaknya orang yang berebutan untuk mengusungnya. Dan Syeikh Abdullah bin Salamah (Syeikh Abdullah bin Salamah adalah orang yang pernah ikut berperang bersama Uwais al-Qorni pada masa pemerintahan sayyidina Umar r.a.) menjelaskan, “ketika aku ikut mengurusi jenazahnya hingga aku pulang dari mengantarkan jenazahnya, lalu aku bermaksud untuk kembali ke tempat penguburannya guna memberi tanda pada kuburannya, akan tetapi sudah tak terlihat ada bekas kuburannya. Meninggalnya Uwais al-Qorni telah menggemparkan masyarakat kota Yaman. Banyak terjadi hal-hal yang amat mengherankan. Sedemikian banyaknya orang yang tak dikenal berdatangan untuk mengurus jenazah dan pemakamannya, padahal Uwais adalah seorang fakir yang tak dihiraukan orang. Sejak ia dimandikan sampai ketika jenazahnya hendak diturunkan ke dalam kubur, di situ selalu ada orang-orang yang telah siap melaksanakannya terlebih dahulu. Penduduk kota Yaman tercengang. Mereka saling bertanya-tanya : “Siapakah sebenarnya engkau wahai Uwais al-Qorni ? Bukankah Uwais yang kita kenal, hanyalah seorang fakir yang tak memiliki apa-apa, yang kerjanya hanyalah sebagai penggembala domba dan unta ? Tapi, ketika hari wafatmu, engkau telah menggemparkan penduduk Yaman dengan hadirnya manusia-manusia asing yang tidak pernah kami kenal. Mereka datang dalam jumlah sedemikian banyaknya. Agaknya mereka adalah para malaikat yang di turunkan ke bumi, hanya untuk mengurus jenazah dan pemakamannya. Baru saat itulah penduduk Yaman mengetahuinya siapa “Uwais al-Qorni” ternyata ia tak terkenal di bumi tapi terkenal di langit.

Selasa, 22 Mei 2012

GUGAT CERAI

BAB I
PENDAHULUAN
Sakinah, mawaddah dan kasih sayang adalah asas dan tujuan disyariatkannya pernikahan dan pembentukan rumah tangga. Dijelaskan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Dan di antara tanda-tanda kekuasan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir” [Ar-Rum : 21]
Namun kenyataannya banyak terjadi dalam kehidupan berkeluarga timbul masalah-masalah yang mendorong seorang isteri melakukan gugatan cerai (Khulu) dengan segala alasan. Fenomena ini banyak terjadi dalam media massa, sehingga diketahui khalayak ramai. Yang pantas disayangkan, mereka tidak segan-segan membuka rahasia rumah tangga, hanya sekedar untuk bisa memenangkan gugatan,. Padahal, semestinya persoalan gugatan cerai ini harus dikembalikan kepada agama, dan menimbangnya dengan Islam karna dengan demikianlah, kita semua dapat ber-Islam dengan kaffah (sempurna dan menyeluruh). Oleh karena itu, kami selaku mahasiswa fakultas syari’ah dan Hukum akan sedidikit memaparkan mengenai permasalahan-permasalahan tentang khulu’, sebab-sebab seseorang melakukan khuluk dan sebagainya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Khulu’
Menurut bahasa, kata khulu’ berasal dari khala’ ats-tsauba idzaa azzalaba yang artinya melepaskan pakaian; karena isteri adalah pakaian suami dan suami adalah pakaian isteri. Allah SWT berfirman, ”Mereka itu adalah pakaian bagimu dan kamu pun pakaian bagi mereka.” (Al-Baqarah:187). Para pakar fiqih memberi definisi bahwa khulu’ adalah seorang suami menceraikan isterinya dengan imbalan mengambil sesuatu darinya. Dan khulu’ disebut juga fidyah atau if tidak (tebusan) karena istri menebus dirinya dari suaminya dengan mengembalikan apa yang diterimanya.
Sedangkan menurut pengertian syari’at, para ulama mengatakan dalam banyak defenisi, yang semuanya kembali kepada pengertian, bahwasanya Al-Khulu ialah terjadinya perpisahan (perceraian) antara sepasang suami-isteri dengan keridhaan dari keduanya dan dengan pembayaran diserahkan isteri kepada suaminya . Adapaun Syaikh Al-Bassam berpendapat, Al-Khulu ialah perceraian suami-isteri dengan pembayaran yang diambil suami dari isterinya, atau selainnya dengan lafazh yang khusus. Dengan demikian khulu’ menurut istilah syara’ adalah perceraian yang diminta oleh istri dari suaminya dengan memberikan ganti sebagai tebusannya.
Di antara dalil adanya Khulu’ adalah dalil-dalil berikut ini:
عن ابن عباس أن امرأة ثابت بن قيس أتت النبي صلى الله عليه وسلم فقالت: يا رسول الله, ثابت بن قيس ما أعيب عليه فى خلق ولا دين, ولكنى أكره الكفر فى الإسلام, فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((أتردين عليه حديقه)), فقالت: نعم, فرددت عليه فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((اقبل الحديقة وطلقها تطليقة)) [رواه البخارى]
Artinya: “Dari Ibnu Abbas, bahwasannya isteri Tsabit bin Qais datang kepada Nabi saw sambil berkata: “Ya Rasulullah, Saya tidak mendapati kekurangan dari Tsabit bin Qais, baik akhlak maupun agamanya. Hanya saja, saya takut saya sering kufur (maksudnya kufur, tidak melaksanakan kewajiban kepada suami dengan baik) dalam Islam. Rasulullah saw lalu bersabda: “Apakah kamu siap mengembalikan kebunnya?” Wanita itu menjawab: “Ya, sanggup. Saya akan mengembalikan kebun itu kepadanya”. Rasulullah saw lalu bersabda (kepada Tsabit): “Terimalah kebunnya itu dan ceraikan dia satu kali cerai”. (HR. Bukhari).
B Hukum Khulu’
Para ulama Fiqh mengatakan bahwa Khulu’ itu mempunyai tiga hukum tergantung kondisi dan situasinya. Ketiga hukum dimaksud adalah:
1. Mubah.
Isteri boleh-boleh saja untuk mengajukan Khulu’ manakala ia merasa tidak nyaman apabila tetap hidup bersama suaminya, baik karena sifat-sifat buruk suaminya, atau dikhawatirkan tidak memberikan hak-haknya kembali atau karena ia takut ketaatan kepada suaminya tidak menyebabkan berdiri dan terjaganya ketentuan-ketentuan Allah. Dalam kondisi seperti ini, Khulu’ bagi si isteri boleh dan sah-sah saja, sebagaimana firman Allah:
فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ (البقرة: 229)
Artinya: “Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya” (QS. Al-Baqarah: 229).
Demikian juga berdasarkan hadits berikut ini:
عن ابن عباس أن امرأة ثابت بن قيس أتت النبي صلى الله عليه وسلم فقالت: يا رسول الله, ثابت بن قيس ما أعيب عليه فى خلق ولا دين, ولكنى أكره الكفر فى الإسلام, فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((أتردين عليه حديقه)), فقالت: نعم, فرددت عليه فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((اقبل الحديقة وطلقها تطليقة)) [رواه البخارى]
Artinya: “Dari Ibnu Abbas, bahwasannya isteri Tsabit bin Qais datang kepada Nabi saw sambil berkata: “Ya Rasulullah, Saya tidak mendapati kekurangan dari Tsabit bin Qais, baik akhlak maupun agamanya. Hanya saja, saya takut saya sering kufur (maksudnya kufur, tidak melaksanakan kewajiban kepada suami dengan baik) dalam Islam. Rasulullah saw lalu bersabda: “Apakah kamu siap mengembalikan kebunnya?” Wanita itu menjawab: “Ya, sanggup. Saya akan mengembalikan kebun itu kepadanya”. Rasulullah saw lalu bersabda (kepada Tsabit): “Terimalah kebunnya itu dan ceraikan dia satu kali cerai”. (HR. Bukhari).
2. Haram.
Khulu” bisa haram hukumnya apabila dilakukan dalam dua kondisi berikut ini:
1) Apabila si isteri meminta Khulu’ kepada suaminya tanpa ada alasan dan sebab yang jelas, padahal urusan rumah tangganya baik-baik saja, tidak ada alasan yang dapat dijadikan dasar oleh isteri untuk mengajukan Khulu’. Hal ini didasarkan kepada firman Allah berikut ini:
وَلَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا ءَاتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا إِلَّا أَنْ يَخَافَا أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ (البقرة: 229).
Artinya: ” Tidak halal bagi kamu mengamb
il kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya” (QS. Al-Baqarah: 229).
عن ثوبان قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((أيما امرأة سألت زوجها طلاقا فى غير ما بأس, فحرام عليها رائحة الجنة)) [رواه أبو داود وابن ماجه وأحمد]
Artinya: “Tsauban berkata, Rasulullah saw bersabda: “Wanita yang mana saja yang meminta cerai kepada suaminya tanpa alasan yang jelas, maka haram baginya untuk mencium wangi surta” (HR. Abu Dawud, Ibn Majah dan Ahmad).
2) Apabila si suami sengaja menyakiti dan tidak memberikan hak-hak si isteri dengan maksud agar si isteri mengajukan Khulu’, maka hal ini juga haram hukumnya. Apabila Khulu’ terjadi, si suami tidak berhak mendapatkan dan mengambil ‘iwadh, uang gantinya karena maksudnya saja sudah salah dan berdosa. Dalam hal ini Allah berfirman:
وَلَا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا ءَاتَيْتُمُوهُنَّ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ (النساء: 19).
Artinya: “Dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata” (QS. An-Nisa: 19).
Namun, apabila si suami berbuat seperti di atas lantaran si isteri berbuat zina misalnya, maka apa yang dilakukan si suami boleh-boleh saja dan ia berhak mengambil ‘iwadh tersebut.
3. Sunnah.
Khulu’ juga bisa sunnah hukumnya apabila, menurut Hanabilah, si suami tidak melaksanakan hak-hak Allah, misalnya si suami sudah tidak pernah melaksanakan shalat wajib, puasa Ramadhan atau yang lainnya, atau apabila si suami melakukan dosa besar, seperti berzina, nyandu dengan obat-obat terlarang dan lainnya. Sebagian ulama lainnya menilai bahwa untuk kondisi seperti ini, Khulu’ bukan lagi sunnah, akan tetapi wajib hukumnya.
C. Rukun Khulu’
Khulu’ dapat dipandang sah dan jatuh, apabila memenuhi persyaratan rukun-rukunnya. Yang termasuk rukun Khulu’ ada empat, yaitu suami (al-mukhala’, yang diKhulu’), isteri (al-mukhtali’ah, yang mengKhulu’), shigat Khulu’ dan iwadh, atau uang tebusan, uang ganti.
1. Al-mukhala’ (yang diKhulu’ yaitu suami).
Para ulama sepakat bahwasannya orang yang diKhulu” atau suami hendaknya orang yang mempunyai hak untuk mentalak. Dalam hal ini ada kaidah yang mengatakan: “man jaza thalakuhu, jaza Khulu’ uh (Barangsiapa yang boleh mentalak, boleh juga untuk mengKhulu’ nya)”.
2. Al-mukhtali’ah (wanita yang mengKhulu’, yakni isteri).
Bagi isteri yang hendak mengKhulu” disyaratkan hal-hal berikut:
1). Hendaknya dia itu adalah isterinya yang sah secara syar’i. Hal ini karena Khulu’ bertujuan untuk mengkahiri ikatan pernikahan, maksudnya posisinya sebagai isteri. Ikatan ini baru dapat pudar manakala dihasilkan dari pernikahan yang sah. Apabila dari pernikahan yang tidak sah, maka si isteri tidak ada hak untuk mengajukan Khulu’.
Persoalan berikutnya adalah apakah wanita yang sedang dalam masa Iddah boleh mengajukan Khulu’? Untuk hal ini ada dua keadaan:
a) Apabila wanita tersebut sedang dalam masa Iddah karena Thalak Raj’i, maka wanita tersebut diperbolehkan mengajukan Khulu’, lantaran wanita yang sedang dalam masa Iddah Talak Raj’i masih dipandang sebagai isterinya yang sah dan karenanya, ia diperbolehkan untuk mengajukan Khulu’ dengan jalan membayar sejumlah ‘iwadh.
b) Apabila wanita tersebut sedang dalam masa Iddah Thalak Ba’in, maka tidak diperbolehkan mengajukan Khulu’. Apabila tetap mengajukan, maka Khulu’ nya menjadi tidak sah. Hal ini lantaran dia sudah dipandang sebagai orang lain dan sudah dipandang tidak ada lagi ikatan pernikahan. Karena tidak ada lagi ikatan pernikahan, maka tidak dapat mengajukan Khulu” dan Khulu” hanya terjadi bagi mereka yang masih terikat dalam ikatan suami isteri. Demikian menurut Madzhab Syafi’iyyah dan Hanabilah.
Sedangkan menurut Hanafiyyah dan Malikiyyah, wanita yang sedang dalam masa Iddah Talak Ba’in diperbolehkan untuk mengajukan Khulu’. Namun, pendapat pertama tentu lebih kuat dan lebih mendekati kepada kebenaran.
2). Isteri yang mengajukan Khulu’ hendaknya orang yang dipandang sah untuk melaksanakan tasharruf (penggunaan) harta juga dipandang sah untuk berderma. Hal ini dengan melihat wanita tersebut sudah baligah, berakal dan dapat dipercaya.
Apabila wanita tersebut belum baligh atau orang yang tidak waras akalnya, maka Khulu’nya tidak sah. Karena baik orang gila maupun anak kecil bukan termasuk orang yang dipandang sah untuk melakukan derma dan menggunakan hartanya.
3. ‘Iwadh (Uang ganti)
‘Iwadh adalah sejumlah harta yang diambil oleh suami dari isterinya karena si isteri mengajukan Khulu’. Syarat dari iwadh ini hendaknya harta tersebut layak untuk dijadikan sebagai mas kawin. Semua hal yang dapat dijadikan mas kawin, maka dapat pula dijadikan sebagai Iwadh dalam Khulu’ (ma jaza an yakuna mahran, jaza an yakuna badalal Khulu’).
Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat. Menurut Hanafiyyah dan Malikiyyah, Khulu’ sah meskipun tidak memakai ‘iwadh misalnya si isteri mengatakan: “Khulu’lah saya ini”, lalu si suami mengatakan: “Saya telah mengKhulu’ kamu”, tanpa menyebutkan adanya iwadh. Di antara alasannya adalah:
1) Khulu’ adalah pemutus pernikahan, karenanya boleh-boleh saja tanpa iwadh sebagaimana talak yang tidak memakai iwadh.
2) Pada dasarnya, Khulu’ ini terjadi lantaran si isteri sudah sangat membenci suaminya lantaran perbuatan suaminya itu sehingga ia memintanya untuk menceraikannya. Ketika si isteri meminta untuk diKhulu’, lalu si suami mengabulkannya, maka hal demikian sah-sah saja meskipun tidak memakai iwadh.
Sedangkan menurut Madzhab Syafi’i, Dhahiriyyah dan yang lainnya, bahwa Khulu’ tidak sah kecuali harus memakai iwadh. Di antara dalil dan alasannya adalah:
1) Dalam firmanNya, Allah mengaitkan Khulu’ ini dengan tebusan sebagaimana firmanNya yang terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 229: “Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya”. Ini menunjukkan bahwa memang Khulu” itu harus memakai iwadh.
2) Ketika isteri dari Tsabit bin Qais hendak melakukan Khulu’, Rasulullah saw memintanya untuk mengembalikan kebunnya. Ini sebagai syarat bahwa Khulu’ baru sah manakala memakai iwadh
Dari kedua pendapat di atas, penulis lebih condong untuk mengambil pendapat kedua bahwa Khulu’ hanya sah apabila memakai iwadh. Hal ini lantaran sepengetahuan penulis tidak ada nash baik dari ayat al-Qur’an maupun dari hadits yang membolehkan praktek Khulu’ tanpa memakai iwadh.
="text-align: justify;">
4. Shigat Khulu’
Shigat Khulu’ maksudnya adalah kata-kata yang harus diucapkan sehingga terjadinya akad Khulu’. Shigat ini mencakup dua hal, Ijab dari salah satu pihak dan Qabul dari pihak lainnya. Dengan demikian, Shigat Khulu’ ini adalah kata-kata yang dapat digunakan sebagai Ijab Qabul dalam Khulu’.
Pada dasarnya, Shigat ini harus dengan kata-kata. Namun, untuk kondisi yang tidak memungkinkan, seperti karena bisu misalnya, maka shigatnya boleh dengan isyarat yang dapat dipahami.
D. Masa Iddah wanita yang mengajukan Khulu’ (al-mukhtali’ah)
    Dalam hal ini para ulama terbagi kepada dua pendapat. Menurut Jumhur ulama, Iddah wanita yang mengajukan Khulu’ sama dengan Iddahnya wanita yang ditalak yaitu tiga kali quru’, tiga kali haid. Di antara dalilnya adalah:
1. Khulu’ adalah talak dan karenanya masuk ke dalam keumuman ayat berikut ini:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ (البقرة: 228)
Artinya: “Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’” (QS. Al-Baqarah: 228).
2. Khulu’ adalah perceraian setelah dukhul, maka Iddahnya adalah tiga kali haid sebagaimana dengan yang selain Khulu’.
3. Dalam sebuah riwayat dikatakan:
عن نافع عن ابن عمر قال: ((عدتها أي المختلعة, عدة المطلقة)) [رواه مالك بسند صحيح]
Artinya: Dari Nafi’ dari Ibn Umar berkata: “Iddahnya wanita yang mengajukan Khulu’ sama dengan Iddahnya wanita yang ditalak (yaitu tida kali haid)” (HR. Malik dengan sanad Shahih).
Pendapat kedua mengatakan bahwa Iddahnya adalah satu kali haid. Pendapat ini adalah pendapatnya Utsman bin Affan, Ibn Umar, Ibn Abbas, Ibn Taimiyyah dan yang lainnya. Di antara alasannya adalah:
1. Dalam sebuah riwayat dikatakan:
عن الربيع بنت معوذ قالت: اختلعت من زوجى ثم جئت عثمان فسألته: ماذا علي من العدة؟ فقال: ((لا عدة عليك إلا أن تكونى حديثة عهد به فتمكثى حتى تحيضى حيضة)) [رواه ابن أبي شيبة بسند صحيح]
Artinya: “Dari ar-Rabi’ bint Mu’awwadz berkata: “Saya mengajukan Khulu’ dari suami saya. Lalu saya datang kepada Utsman bin Affan sambil bertanya: “Apa Iddah saya?” Utsman menjawab: “Tidak ada Iddah bagi kamu kecuali jika kamu tidak menikah lagi dengannya (dengan suaminya itu), maka tinggallah (ber-Iddahlah) selama satu kali haid)” (HR. Ibn Abi Syaibah dengan sanad Shahih).
2. Demikian juga dengan riwayat berikut:
ولابي داودوالترمدي, وحسنه:أن امرأة ثابت بن قيس اختلعت منه فجعل النبي صلى الله عليه وسلم عدتها حيضة [رواه أبو داود بسند حسن]
Artinya: “dan Bagi Abu Dawud dan Tirmidzi dan ia hasankan, bahwasannya isteri Tsabit bin Qais mengajukan Khulu” dari suaminya. Rasulullah saw lalu menjadikan Iddahnya satu kali haid” (HR. Abu Dawud dengan sanad Hasan).
3. Ibnu Qayyim dalam hal ini berkata dalam bukunya Zadul Ma’ad (V/197): “Iddah wanita yang mengajukan Khulu’ satu kali haid, ini lebih mendekati kepada maksud syara. Karena Iddah itu dijadikan tiga kali haid dengan maksud untuk memperpanjang kesempatan untuk rujuk, sehingga si suami dapat merujuknya selama masa Iddah tadi. Apabila sudah tidak ada kesempatan untuk rujuk, maka maksudnya adalah untuk membersihkan rahim saja (bara’atur rahm) dari kehamilan, dan hal itu cukup dengan satu kali haid saja”.
E. Kedudukan Khulu’
Jumhur Fuqoha berpendapat bahwa Khulu adalah talak ba’in, karena apabila suami dapat merujuk istrinya pada masa iddah, maka penebusannya itu tidak akan berarti lagi. pendapat ini dikemukakan pula oleh imam Malik. Abu hanifah menyamakan Khulu’ dengan talak dan fasakh secara bersamaan. Sedangkan imam syafi’I berpendapat bahwa khulu’ adalah Fasakh pendapat ini juga dikemukakan Ahmad dan Dawud dan sahabat Ibnu Abbas r.a. Diriwayatkan pula dari syaf’I bahwa khulu itu adalah kata-kata sindiran. Jadi, jika dengan kata-kata sindiran itu suami menghendaki talak, maka talakpun jadi, dan jika tidak maka menjadi fasakh. Tetapi dalam dalam pendapat barunya (al-qaul al-jadid) ia menyatakan bahwa khulu’ itu talak.
Abu Tsaur berpendapat bahwa apabila khulu’ tidak menggunakan kata-kata talak, maka suami tidak dapat merujuk istrinya, sedang apabila khulu’ tersebut menggunakan kata-kata talak, maka suami dapat merujuk istrinya. Fuqaha yang menganggap khulu’ sebagai talak mengemukakan alasan, bahwa fasakh itu tidaklain merupakan perkara yang menjadikan suami sebagai pihak yang kuat dalam pemutusan ikatan perkawinan tetapi tidak berasal dari kehendaknya. Sedangkan khulu’ ini berpangkal pada kehendak, oleh karenya khulu’itu bukan fasakh.
Adapun fuqaha yang tidak menganggap khulu’ sebagai talak mengemukakan alasan bahwa dalam Al-Qur’an mula-mula Alloh menyebutkan tentang talak:
الطلاق مرتان. (البقرة: ۲۲۹)
Artinya: “talak yang dapat dirujuk itu dua kali”. (Q.S. albaqarah: 2290
Kemudian Alloh menyebutkan tentang tebusan (Khulu’), dan selanjutnya berfirman:
Artinya: “kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain.” (Q.S. Albaqarah : 230).
Jika tebusan tersebut adalah talak, berarti yang menyebabkan istri tidak halal lagi bagi suami, kecuali sesudah ia kawin lagi dengan lelaki yang lain itu menjadi talak keempat. Mereka berpendapat bahwa fasakh itu dapat terjadi dengan suka sama suka karena disamakan denga fasakh dalam jual beli, yakni kegagalan atau pengunduran diri.
Jadi jelaslah bahwa Khulu’ Adalah Fasakh, Bukan Talak, Jika seorang isteri telah menebus dirinya dan dicerai oleh suaminya. Maka ia berkuasa penuh atas dirinya sendiri, sehingga suaminya tidak berhak untuk rujuk kepadanya, kecuali dengan ridhanya dan perpecahan tidak dianggap sebagai talak meskipun dijatuhkan dengan redaksi talak. Namun ia adalah perusakan akad nikah demi kemaslahatan sang isteri dengan balasan menebus dirinya kepada suaminya.
Ibnul Qayyim r.a. menulis sebagai berikut, ”Dan yang menunjukkan khulu’ bukan talak adalah bahwa Allah SWT telah menetapkan tiga ketentuan yang berlaku pada talak terhadap (isteri) yang telah dikumpuli jika talak tersebut telah mencapai talak tiga. Ketetapan-ketetapan itu, tidak pada khulu’. Pertama: Suamilah yang lebih berhak rujuk kepada isterinya dalam masa iddah. Kedua: Talak maksimal tiga kali, sehingga setelah terjadi talak ketiga, isteri tidak halal bagi suaminya, terkecuali ia kawin lagi dengan suami kedua dan pernah bercampur dengannya. Ketiga: Iddah yang
berlaku dalam talak terdiri atas tiga kali quru’ (bersih dari iddah).
Sementara itu, telah sah berdasarkan nash (ayat Qur-an ataua hadits) dan ijma’ (kesepatakan) bahwasanya tidak sah istilah rujuk dalam khulu’. Dan, sudah sah berdasar sunnah Nabi saw dan pendapat para shahabat bahwa iddah untuk khulu’ hanya satu kali haidh. Demikian pula telah sah juga berdasar nash syar’i bahwa boleh melakukan khulu’ setelah talak kedua dan talak ketiga. Ini jelas sekali menunjukkan bahwa khulu’ bukanlah talak. Oleh sebab itu Allah SWT menegaskan, ”Talak (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan Cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik dan tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yang pernah kami berikan pada mereka kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat melaksanakan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat mejalangkan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya.” (Al-Baqarah:229).
Dan ini tidak dikhususkan bagi wanita yang telah ditalak dua kali, karena hal ini ia mencakup isteri yang dicerai dua kali. Tidak boleh dhamir (kata ganti). Itu kembali kepada oknum, yang tidak disebutkan dalam ayat di atas dan meninggalkan oknum yang disebutkan dengan jelas akan tetapi mungkin dikhususkan bagi oknum yang pernah disebutkan sebelumnya atau meliputi juga selain yang sudah disebutkan sebelumnya. Kemudian Allah SWT berfirman, ”Kemudian jika suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua) maka perempuan itu tidak halal lagi baginya.” (Al-Baqarah:230).
Ayat al-Qur’an ini meliputi perempuan yang dicerai setelah khulu’ dan setelah dicerai, dua kali secara qath’i (pasti) karena dialah yang disebutkan dalam ayat di atas. Maka ia (wanita yang di khulu’) harus masuk ke dalam kandungan lafazh ayat tersebut. Demikianlah yang difahami Imam Ahli tafsir Ibnu Abbas r.a. yang pernah dido’akan oleh Rasulullah saw. agar Allah mengajarinya tafsir Qur’an. Dan pasti doa itu terkabul, tanpa keraguan. Manakala hukum-hukum yang berlaku dalam khulu’ berlainan dengan hukum-hukum talak maka hal itu menunjukkan bahwa keduanya berlainan. Jadi inilah yang sesuai dengan ketentuan na’ah, qiyas, dan dengan pendapat para shahabat Nabi saw. (Zaadul Ma’ad V:199).
BAB III
KESIMPULAN
Menurut bahasa, kata khulu’ berasal dari khala’ ats-tsauba idzaa azzalaba yang artinya melepaskan pakaian; karena isteri adalah pakaian suami dan suami adalah pakaian isteri. Allah SWT berfirman, ”Mereka itu adalah pakaian bagimu dan kamu pun pakaian bagi mereka.” (Al-Baqarah:187). Para pakar fiqih memberi definisi bahwa khulu’ adalah seorang suami menceraikan isterinya dengan imbalan mengambil sesuatu darinya. Dan khulu’ disebut juga fidyah atau if tidak (tebusan) karena istri menebus dirinya dari suaminya dengan mengembalikan apa yang diterimanya.
Sedangkan menurut istilah para ulama mendefinisikan bhwa Khulu ialah terjadinya perpisahan (perceraian) antara sepasang suami-isteri dengan keridhaan dari keduanya dan dengan pembayaran diserahkan isteri kepada suaminya . Para ulama Fiqh mengatakan bahwa Khulu’ itu mempunyai tiga hukum tergantung kondisi dan situasinya. Ketiga hukum dimaksud adalah: mubah, haram dan sunnah, tergantung keadaan yang menyebabkan seseorang mengajikan khulu’. Khulu’ dapat dipandang sah dan jatuh, apabila memenuhi persyaratan rukun-rukunnya. Yang termasuk rukun Khulu’ ada empat, yaitu suami (al-mukhala’, yang diKhulu’), isteri (al-mukhtali’ah, yang mengKhulu’), shigat Khulu’ dan iwadh, atau uang tebusan, uang ganti. Menurut Jumhur ulama, Iddah wanita yang mengajukan Khulu’ sama dengan Iddahnya wanita yang ditalak yaitu tiga kali quru’, tiga kali haid, Pendapat kedua mengatakan bahwa Iddahnya adalah satu kali haid. Pendapat ini adalah pendapatnya Utsman bin Affan, Ibn Umar, Ibn Abbas, Ibn Taimiyyah dan yang lainnya.