GUGAT CERAI
BAB I
PENDAHULUAN
Sakinah, mawaddah dan kasih sayang
adalah asas dan tujuan disyariatkannya pernikahan dan pembentukan rumah
tangga. Dijelaskan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Dan di antara tanda-tanda
kekuasan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu
sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir”
[Ar-Rum : 21]
Namun kenyataannya banyak terjadi
dalam kehidupan berkeluarga timbul masalah-masalah yang mendorong
seorang isteri melakukan gugatan cerai (Khulu) dengan segala alasan.
Fenomena ini banyak terjadi dalam media massa, sehingga diketahui
khalayak ramai. Yang pantas disayangkan, mereka tidak segan-segan
membuka rahasia rumah tangga, hanya sekedar untuk bisa memenangkan
gugatan,. Padahal, semestinya persoalan gugatan cerai ini harus
dikembalikan kepada agama, dan menimbangnya dengan Islam karna dengan
demikianlah, kita semua dapat ber-Islam dengan kaffah (sempurna dan
menyeluruh). Oleh karena itu, kami selaku mahasiswa fakultas syari’ah
dan Hukum akan sedidikit memaparkan mengenai permasalahan-permasalahan
tentang khulu’, sebab-sebab seseorang melakukan khuluk dan sebagainya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Khulu’
Menurut bahasa, kata khulu’ berasal
dari khala’ ats-tsauba idzaa azzalaba yang artinya melepaskan pakaian;
karena isteri adalah pakaian suami dan suami adalah pakaian isteri.
Allah SWT berfirman, ”Mereka itu adalah pakaian bagimu dan kamu pun
pakaian bagi mereka.” (Al-Baqarah:187). Para pakar fiqih memberi
definisi bahwa khulu’ adalah seorang suami menceraikan isterinya dengan
imbalan mengambil sesuatu darinya. Dan khulu’ disebut juga fidyah
atau if tidak (tebusan) karena istri menebus dirinya dari suaminya
dengan mengembalikan apa yang diterimanya.
Sedangkan menurut pengertian
syari’at, para ulama mengatakan dalam banyak defenisi, yang semuanya
kembali kepada pengertian, bahwasanya Al-Khulu ialah terjadinya
perpisahan (perceraian) antara sepasang suami-isteri dengan keridhaan
dari keduanya dan dengan pembayaran diserahkan isteri kepada suaminya .
Adapaun Syaikh Al-Bassam berpendapat, Al-Khulu ialah perceraian
suami-isteri dengan pembayaran yang diambil suami dari isterinya, atau
selainnya dengan lafazh yang khusus. Dengan demikian khulu’ menurut
istilah syara’ adalah perceraian yang diminta oleh istri dari suaminya
dengan memberikan ganti sebagai tebusannya.
Di antara dalil adanya Khulu’ adalah dalil-dalil berikut ini:
عن ابن عباس أن امرأة ثابت بن قيس أتت
النبي صلى الله عليه وسلم فقالت: يا رسول الله, ثابت بن قيس ما أعيب عليه
فى خلق ولا دين, ولكنى أكره الكفر فى الإسلام, فقال رسول الله صلى الله
عليه وسلم: ((أتردين عليه حديقه)), فقالت: نعم, فرددت عليه فقال رسول الله
صلى الله عليه وسلم: ((اقبل الحديقة وطلقها تطليقة)) [رواه البخارى]
Artinya: “Dari Ibnu Abbas,
bahwasannya isteri Tsabit bin Qais datang kepada Nabi saw sambil
berkata: “Ya Rasulullah, Saya tidak mendapati kekurangan dari Tsabit
bin Qais, baik akhlak maupun agamanya. Hanya saja, saya takut saya
sering kufur (maksudnya kufur, tidak melaksanakan kewajiban kepada
suami dengan baik) dalam Islam. Rasulullah saw lalu bersabda: “Apakah
kamu siap mengembalikan kebunnya?” Wanita itu menjawab: “Ya, sanggup.
Saya akan mengembalikan kebun itu kepadanya”. Rasulullah saw lalu
bersabda (kepada Tsabit): “Terimalah kebunnya itu dan ceraikan dia satu
kali cerai”. (HR. Bukhari).
B Hukum Khulu’
Para ulama Fiqh mengatakan bahwa
Khulu’ itu mempunyai tiga hukum tergantung kondisi dan situasinya.
Ketiga hukum dimaksud adalah:
1. Mubah.
Isteri boleh-boleh saja untuk
mengajukan Khulu’ manakala ia merasa tidak nyaman apabila tetap hidup
bersama suaminya, baik karena sifat-sifat buruk suaminya, atau
dikhawatirkan tidak memberikan hak-haknya kembali atau karena ia takut
ketaatan kepada suaminya tidak menyebabkan berdiri dan terjaganya
ketentuan-ketentuan Allah. Dalam kondisi seperti ini, Khulu’ bagi si
isteri boleh dan sah-sah saja, sebagaimana firman Allah:
فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ (البقرة: 229)
Artinya: “Jika kamu khawatir bahwa
keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka
tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri
untuk menebus dirinya” (QS. Al-Baqarah: 229).
Demikian juga berdasarkan hadits berikut ini:
عن ابن عباس أن امرأة ثابت بن قيس أتت
النبي صلى الله عليه وسلم فقالت: يا رسول الله, ثابت بن قيس ما أعيب عليه
فى خلق ولا دين, ولكنى أكره الكفر فى الإسلام, فقال رسول الله صلى الله
عليه وسلم: ((أتردين عليه حديقه)), فقالت: نعم, فرددت عليه فقال رسول الله
صلى الله عليه وسلم: ((اقبل الحديقة وطلقها تطليقة)) [رواه البخارى]
Artinya: “Dari Ibnu Abbas,
bahwasannya isteri Tsabit bin Qais datang kepada Nabi saw sambil
berkata: “Ya Rasulullah, Saya tidak mendapati kekurangan dari Tsabit
bin Qais, baik akhlak maupun agamanya. Hanya saja, saya takut saya
sering kufur (maksudnya kufur, tidak melaksanakan kewajiban kepada
suami dengan baik) dalam Islam. Rasulullah saw lalu bersabda: “Apakah
kamu siap mengembalikan kebunnya?” Wanita itu menjawab: “Ya, sanggup.
Saya akan mengembalikan kebun itu kepadanya”. Rasulullah saw lalu
bersabda (kepada Tsabit): “Terimalah kebunnya itu dan ceraikan dia satu
kali cerai”. (HR. Bukhari).
2. Haram.
Khulu” bisa haram hukumnya apabila dilakukan dalam dua kondisi berikut ini:
1) Apabila si isteri meminta Khulu’
kepada suaminya tanpa ada alasan dan sebab yang jelas, padahal urusan
rumah tangganya baik-baik saja, tidak ada alasan yang dapat dijadikan
dasar oleh isteri untuk mengajukan Khulu’. Hal ini didasarkan kepada
firman Allah berikut ini:
وَلَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا
مِمَّا ءَاتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا إِلَّا أَنْ يَخَافَا أَلَّا يُقِيمَا
حُدُودَ اللَّهِ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا
جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ (البقرة: 229).
Artinya: ” Tidak halal bagi kamu mengamb
il kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya” (QS. Al-Baqarah: 229).
il kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya” (QS. Al-Baqarah: 229).
عن ثوبان قال قال رسول الله صلى الله
عليه وسلم: ((أيما امرأة سألت زوجها طلاقا فى غير ما بأس, فحرام عليها
رائحة الجنة)) [رواه أبو داود وابن ماجه وأحمد]
Artinya: “Tsauban berkata, Rasulullah
saw bersabda: “Wanita yang mana saja yang meminta cerai kepada
suaminya tanpa alasan yang jelas, maka haram baginya untuk mencium
wangi surta” (HR. Abu Dawud, Ibn Majah dan Ahmad).
2) Apabila si suami sengaja
menyakiti dan tidak memberikan hak-hak si isteri dengan maksud agar si
isteri mengajukan Khulu’, maka hal ini juga haram hukumnya. Apabila
Khulu’ terjadi, si suami tidak berhak mendapatkan dan mengambil ‘iwadh,
uang gantinya karena maksudnya saja sudah salah dan berdosa. Dalam hal
ini Allah berfirman:
وَلَا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا ءَاتَيْتُمُوهُنَّ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ (النساء: 19).
Artinya: “Dan janganlah kamu
menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa
yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan
pekerjaan keji yang nyata” (QS. An-Nisa: 19).
Namun, apabila si suami berbuat
seperti di atas lantaran si isteri berbuat zina misalnya, maka apa yang
dilakukan si suami boleh-boleh saja dan ia berhak mengambil ‘iwadh
tersebut.
3. Sunnah.
Khulu’ juga bisa sunnah hukumnya
apabila, menurut Hanabilah, si suami tidak melaksanakan hak-hak Allah,
misalnya si suami sudah tidak pernah melaksanakan shalat wajib, puasa
Ramadhan atau yang lainnya, atau apabila si suami melakukan dosa besar,
seperti berzina, nyandu dengan obat-obat terlarang dan lainnya.
Sebagian ulama lainnya menilai bahwa untuk kondisi seperti ini, Khulu’
bukan lagi sunnah, akan tetapi wajib hukumnya.
C. Rukun Khulu’
Khulu’ dapat dipandang sah dan jatuh,
apabila memenuhi persyaratan rukun-rukunnya. Yang termasuk rukun
Khulu’ ada empat, yaitu suami (al-mukhala’, yang diKhulu’), isteri
(al-mukhtali’ah, yang mengKhulu’), shigat Khulu’ dan iwadh, atau uang
tebusan, uang ganti.
1. Al-mukhala’ (yang diKhulu’ yaitu suami).
Para ulama sepakat bahwasannya orang
yang diKhulu” atau suami hendaknya orang yang mempunyai hak untuk
mentalak. Dalam hal ini ada kaidah yang mengatakan: “man jaza
thalakuhu, jaza Khulu’ uh (Barangsiapa yang boleh mentalak, boleh juga
untuk mengKhulu’ nya)”.
2. Al-mukhtali’ah (wanita yang mengKhulu’, yakni isteri).
Bagi isteri yang hendak mengKhulu” disyaratkan hal-hal berikut:
1). Hendaknya dia itu adalah
isterinya yang sah secara syar’i. Hal ini karena Khulu’ bertujuan untuk
mengkahiri ikatan pernikahan, maksudnya posisinya sebagai isteri.
Ikatan ini baru dapat pudar manakala dihasilkan dari pernikahan yang
sah. Apabila dari pernikahan yang tidak sah, maka si isteri tidak ada
hak untuk mengajukan Khulu’.
Persoalan berikutnya adalah apakah wanita yang sedang dalam masa Iddah boleh mengajukan Khulu’? Untuk hal ini ada dua keadaan:
a) Apabila wanita tersebut sedang
dalam masa Iddah karena Thalak Raj’i, maka wanita tersebut
diperbolehkan mengajukan Khulu’, lantaran wanita yang sedang dalam masa
Iddah Talak Raj’i masih dipandang sebagai isterinya yang sah dan
karenanya, ia diperbolehkan untuk mengajukan Khulu’ dengan jalan
membayar sejumlah ‘iwadh.
b) Apabila wanita tersebut sedang
dalam masa Iddah Thalak Ba’in, maka tidak diperbolehkan mengajukan
Khulu’. Apabila tetap mengajukan, maka Khulu’ nya menjadi tidak sah.
Hal ini lantaran dia sudah dipandang sebagai orang lain dan sudah
dipandang tidak ada lagi ikatan pernikahan. Karena tidak ada lagi
ikatan pernikahan, maka tidak dapat mengajukan Khulu” dan Khulu” hanya
terjadi bagi mereka yang masih terikat dalam ikatan suami isteri.
Demikian menurut Madzhab Syafi’iyyah dan Hanabilah.
Sedangkan menurut Hanafiyyah dan
Malikiyyah, wanita yang sedang dalam masa Iddah Talak Ba’in
diperbolehkan untuk mengajukan Khulu’. Namun, pendapat pertama tentu
lebih kuat dan lebih mendekati kepada kebenaran.
2). Isteri yang mengajukan Khulu’
hendaknya orang yang dipandang sah untuk melaksanakan tasharruf
(penggunaan) harta juga dipandang sah untuk berderma. Hal ini dengan
melihat wanita tersebut sudah baligah, berakal dan dapat dipercaya.
Apabila wanita tersebut belum baligh
atau orang yang tidak waras akalnya, maka Khulu’nya tidak sah. Karena
baik orang gila maupun anak kecil bukan termasuk orang yang dipandang
sah untuk melakukan derma dan menggunakan hartanya.
3. ‘Iwadh (Uang ganti)
‘Iwadh adalah sejumlah harta yang
diambil oleh suami dari isterinya karena si isteri mengajukan Khulu’.
Syarat dari iwadh ini hendaknya harta tersebut layak untuk dijadikan
sebagai mas kawin. Semua hal yang dapat dijadikan mas kawin, maka dapat
pula dijadikan sebagai Iwadh dalam Khulu’ (ma jaza an yakuna mahran,
jaza an yakuna badalal Khulu’).
Dalam hal ini para ulama berbeda
pendapat. Menurut Hanafiyyah dan Malikiyyah, Khulu’ sah meskipun tidak
memakai ‘iwadh misalnya si isteri mengatakan: “Khulu’lah saya ini”,
lalu si suami mengatakan: “Saya telah mengKhulu’ kamu”, tanpa
menyebutkan adanya iwadh. Di antara alasannya adalah:
1) Khulu’ adalah pemutus pernikahan, karenanya boleh-boleh saja tanpa iwadh sebagaimana talak yang tidak memakai iwadh.
2) Pada dasarnya, Khulu’ ini
terjadi lantaran si isteri sudah sangat membenci suaminya lantaran
perbuatan suaminya itu sehingga ia memintanya untuk menceraikannya.
Ketika si isteri meminta untuk diKhulu’, lalu si suami mengabulkannya,
maka hal demikian sah-sah saja meskipun tidak memakai iwadh.
Sedangkan menurut Madzhab Syafi’i,
Dhahiriyyah dan yang lainnya, bahwa Khulu’ tidak sah kecuali harus
memakai iwadh. Di antara dalil dan alasannya adalah:
1) Dalam firmanNya, Allah mengaitkan
Khulu’ ini dengan tebusan sebagaimana firmanNya yang terdapat dalam
surat al-Baqarah ayat 229: “Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang
bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya”. Ini
menunjukkan bahwa memang Khulu” itu harus memakai iwadh.
2) Ketika isteri dari Tsabit bin
Qais hendak melakukan Khulu’, Rasulullah saw memintanya untuk
mengembalikan kebunnya. Ini sebagai syarat bahwa Khulu’ baru sah
manakala memakai iwadh
Dari kedua pendapat di atas, penulis
lebih condong untuk mengambil pendapat kedua bahwa Khulu’ hanya sah
apabila memakai iwadh. Hal ini lantaran sepengetahuan penulis tidak ada
nash baik dari ayat al-Qur’an maupun dari hadits yang membolehkan
praktek Khulu’ tanpa memakai iwadh.
="text-align: justify;">
4. Shigat Khulu’
Shigat Khulu’ maksudnya adalah
kata-kata yang harus diucapkan sehingga terjadinya akad Khulu’. Shigat
ini mencakup dua hal, Ijab dari salah satu pihak dan Qabul dari pihak
lainnya. Dengan demikian, Shigat Khulu’ ini adalah kata-kata yang
dapat digunakan sebagai Ijab Qabul dalam Khulu’.
Pada dasarnya, Shigat ini harus
dengan kata-kata. Namun, untuk kondisi yang tidak memungkinkan, seperti
karena bisu misalnya, maka shigatnya boleh dengan isyarat yang dapat
dipahami.
D. Masa Iddah wanita yang mengajukan Khulu’ (al-mukhtali’ah)
Dalam hal ini para ulama terbagi
kepada dua pendapat. Menurut Jumhur ulama, Iddah wanita yang mengajukan
Khulu’ sama dengan Iddahnya wanita yang ditalak yaitu tiga kali
quru’, tiga kali haid. Di antara dalilnya adalah:
1. Khulu’ adalah talak dan karenanya masuk ke dalam keumuman ayat berikut ini:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ (البقرة: 228)
Artinya: “Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’” (QS. Al-Baqarah: 228).
2. Khulu’ adalah perceraian setelah dukhul, maka Iddahnya adalah tiga kali haid sebagaimana dengan yang selain Khulu’.
3. Dalam sebuah riwayat dikatakan:
عن نافع عن ابن عمر قال: ((عدتها أي المختلعة, عدة المطلقة)) [رواه مالك بسند صحيح]
Artinya: Dari Nafi’ dari Ibn Umar
berkata: “Iddahnya wanita yang mengajukan Khulu’ sama dengan Iddahnya
wanita yang ditalak (yaitu tida kali haid)” (HR. Malik dengan sanad
Shahih).
Pendapat kedua mengatakan bahwa
Iddahnya adalah satu kali haid. Pendapat ini adalah pendapatnya Utsman
bin Affan, Ibn Umar, Ibn Abbas, Ibn Taimiyyah dan yang lainnya. Di
antara alasannya adalah:
1. Dalam sebuah riwayat dikatakan:
عن الربيع بنت معوذ قالت: اختلعت من
زوجى ثم جئت عثمان فسألته: ماذا علي من العدة؟ فقال: ((لا عدة عليك إلا أن
تكونى حديثة عهد به فتمكثى حتى تحيضى حيضة)) [رواه ابن أبي شيبة بسند
صحيح]
Artinya: “Dari ar-Rabi’ bint
Mu’awwadz berkata: “Saya mengajukan Khulu’ dari suami saya. Lalu saya
datang kepada Utsman bin Affan sambil bertanya: “Apa Iddah saya?”
Utsman menjawab: “Tidak ada Iddah bagi kamu kecuali jika kamu tidak
menikah lagi dengannya (dengan suaminya itu), maka tinggallah
(ber-Iddahlah) selama satu kali haid)” (HR. Ibn Abi Syaibah dengan
sanad Shahih).
2. Demikian juga dengan riwayat berikut:
ولابي داودوالترمدي, وحسنه:أن امرأة ثابت بن قيس اختلعت منه فجعل النبي صلى الله عليه وسلم عدتها حيضة [رواه أبو داود بسند حسن]
Artinya: “dan Bagi Abu Dawud dan
Tirmidzi dan ia hasankan, bahwasannya isteri Tsabit bin Qais mengajukan
Khulu” dari suaminya. Rasulullah saw lalu menjadikan Iddahnya satu
kali haid” (HR. Abu Dawud dengan sanad Hasan).
3. Ibnu Qayyim dalam hal ini berkata
dalam bukunya Zadul Ma’ad (V/197): “Iddah wanita yang mengajukan
Khulu’ satu kali haid, ini lebih mendekati kepada maksud syara. Karena
Iddah itu dijadikan tiga kali haid dengan maksud untuk memperpanjang
kesempatan untuk rujuk, sehingga si suami dapat merujuknya selama masa
Iddah tadi. Apabila sudah tidak ada kesempatan untuk rujuk, maka
maksudnya adalah untuk membersihkan rahim saja (bara’atur rahm) dari
kehamilan, dan hal itu cukup dengan satu kali haid saja”.
E. Kedudukan Khulu’
Jumhur Fuqoha berpendapat bahwa Khulu
adalah talak ba’in, karena apabila suami dapat merujuk istrinya pada
masa iddah, maka penebusannya itu tidak akan berarti lagi. pendapat ini
dikemukakan pula oleh imam Malik. Abu hanifah menyamakan Khulu’ dengan
talak dan fasakh secara bersamaan. Sedangkan imam syafi’I berpendapat
bahwa khulu’ adalah Fasakh pendapat ini juga dikemukakan Ahmad dan
Dawud dan sahabat Ibnu Abbas r.a. Diriwayatkan pula dari syaf’I bahwa
khulu itu adalah kata-kata sindiran. Jadi, jika dengan kata-kata
sindiran itu suami menghendaki talak, maka talakpun jadi, dan jika
tidak maka menjadi fasakh. Tetapi dalam dalam pendapat barunya (al-qaul
al-jadid) ia menyatakan bahwa khulu’ itu talak.
Abu Tsaur berpendapat bahwa apabila
khulu’ tidak menggunakan kata-kata talak, maka suami tidak dapat
merujuk istrinya, sedang apabila khulu’ tersebut menggunakan kata-kata
talak, maka suami dapat merujuk istrinya. Fuqaha yang menganggap khulu’
sebagai talak mengemukakan alasan, bahwa fasakh itu tidaklain
merupakan perkara yang menjadikan suami sebagai pihak yang kuat dalam
pemutusan ikatan perkawinan tetapi tidak berasal dari kehendaknya.
Sedangkan khulu’ ini berpangkal pada kehendak, oleh karenya khulu’itu
bukan fasakh.
Adapun fuqaha yang tidak menganggap
khulu’ sebagai talak mengemukakan alasan bahwa dalam Al-Qur’an
mula-mula Alloh menyebutkan tentang talak:
الطلاق مرتان. (البقرة: ۲۲۹)
Artinya: “talak yang dapat dirujuk itu dua kali”. (Q.S. albaqarah: 2290
Kemudian Alloh menyebutkan tentang tebusan (Khulu’), dan selanjutnya berfirman:
Artinya: “kemudian jika si suami
mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi
halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain.” (Q.S.
Albaqarah : 230).
Jika tebusan tersebut adalah talak,
berarti yang menyebabkan istri tidak halal lagi bagi suami, kecuali
sesudah ia kawin lagi dengan lelaki yang lain itu menjadi talak
keempat. Mereka berpendapat bahwa fasakh itu dapat terjadi dengan suka
sama suka karena disamakan denga fasakh dalam jual beli, yakni
kegagalan atau pengunduran diri.
Jadi jelaslah bahwa Khulu’ Adalah
Fasakh, Bukan Talak, Jika seorang isteri telah menebus dirinya dan
dicerai oleh suaminya. Maka ia berkuasa penuh atas dirinya sendiri,
sehingga suaminya tidak berhak untuk rujuk kepadanya, kecuali dengan
ridhanya dan perpecahan tidak dianggap sebagai talak meskipun
dijatuhkan dengan redaksi talak. Namun ia adalah perusakan akad nikah
demi kemaslahatan sang isteri dengan balasan menebus dirinya kepada
suaminya.
Ibnul Qayyim r.a. menulis sebagai
berikut, ”Dan yang menunjukkan khulu’ bukan talak adalah bahwa Allah
SWT telah menetapkan tiga ketentuan yang berlaku pada talak terhadap
(isteri) yang telah dikumpuli jika talak tersebut telah mencapai talak
tiga. Ketetapan-ketetapan itu, tidak pada khulu’. Pertama: Suamilah
yang lebih berhak rujuk kepada isterinya dalam masa iddah. Kedua: Talak
maksimal tiga kali, sehingga setelah terjadi talak ketiga, isteri
tidak halal bagi suaminya, terkecuali ia kawin lagi dengan suami kedua
dan pernah bercampur dengannya. Ketiga: Iddah yang
berlaku dalam talak terdiri atas tiga kali quru’ (bersih dari iddah).
berlaku dalam talak terdiri atas tiga kali quru’ (bersih dari iddah).
Sementara itu, telah sah berdasarkan
nash (ayat Qur-an ataua hadits) dan ijma’ (kesepatakan) bahwasanya
tidak sah istilah rujuk dalam khulu’. Dan, sudah sah berdasar sunnah
Nabi saw dan pendapat para shahabat bahwa iddah untuk khulu’ hanya satu
kali haidh. Demikian pula telah sah juga berdasar nash syar’i bahwa
boleh melakukan khulu’ setelah talak kedua dan talak ketiga. Ini jelas
sekali menunjukkan bahwa khulu’ bukanlah talak. Oleh sebab itu Allah
SWT menegaskan, ”Talak (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu boleh
rujuk lagi dengan Cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang
baik dan tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yang
pernah kami berikan pada mereka kecuali kalau keduanya khawatir tidak
akan dapat melaksanakan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa
keduanya (suami istri) tidak dapat mejalangkan hukum-hukum Allah, maka
tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri
untuk menebus dirinya.” (Al-Baqarah:229).
Dan ini tidak dikhususkan bagi wanita
yang telah ditalak dua kali, karena hal ini ia mencakup isteri yang
dicerai dua kali. Tidak boleh dhamir (kata ganti). Itu kembali kepada
oknum, yang tidak disebutkan dalam ayat di atas dan meninggalkan oknum
yang disebutkan dengan jelas akan tetapi mungkin dikhususkan bagi oknum
yang pernah disebutkan sebelumnya atau meliputi juga selain yang sudah
disebutkan sebelumnya. Kemudian Allah SWT berfirman, ”Kemudian jika
suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua) maka perempuan itu tidak
halal lagi baginya.” (Al-Baqarah:230).
Ayat al-Qur’an ini meliputi perempuan
yang dicerai setelah khulu’ dan setelah dicerai, dua kali secara
qath’i (pasti) karena dialah yang disebutkan dalam ayat di atas. Maka
ia (wanita yang di khulu’) harus masuk ke dalam kandungan lafazh ayat
tersebut. Demikianlah yang difahami Imam Ahli tafsir Ibnu Abbas r.a.
yang pernah dido’akan oleh Rasulullah saw. agar Allah mengajarinya
tafsir Qur’an. Dan pasti doa itu terkabul, tanpa keraguan. Manakala
hukum-hukum yang berlaku dalam khulu’ berlainan dengan hukum-hukum
talak maka hal itu menunjukkan bahwa keduanya berlainan. Jadi inilah
yang sesuai dengan ketentuan na’ah, qiyas, dan dengan pendapat para
shahabat Nabi saw. (Zaadul Ma’ad V:199).
BAB III
KESIMPULAN
Menurut bahasa, kata khulu’ berasal
dari khala’ ats-tsauba idzaa azzalaba yang artinya melepaskan pakaian;
karena isteri adalah pakaian suami dan suami adalah pakaian isteri.
Allah SWT berfirman, ”Mereka itu adalah pakaian bagimu dan kamu pun
pakaian bagi mereka.” (Al-Baqarah:187). Para pakar fiqih memberi
definisi bahwa khulu’ adalah seorang suami menceraikan isterinya dengan
imbalan mengambil sesuatu darinya. Dan khulu’ disebut juga fidyah atau
if tidak (tebusan) karena istri menebus dirinya dari suaminya dengan
mengembalikan apa yang diterimanya.
Sedangkan menurut istilah para ulama
mendefinisikan bhwa Khulu ialah terjadinya perpisahan (perceraian)
antara sepasang suami-isteri dengan keridhaan dari keduanya dan dengan
pembayaran diserahkan isteri kepada suaminya . Para ulama Fiqh
mengatakan bahwa Khulu’ itu mempunyai tiga hukum tergantung kondisi dan
situasinya. Ketiga hukum dimaksud adalah: mubah, haram dan sunnah,
tergantung keadaan yang menyebabkan seseorang mengajikan khulu’. Khulu’
dapat dipandang sah dan jatuh, apabila memenuhi persyaratan
rukun-rukunnya. Yang termasuk rukun Khulu’ ada empat, yaitu suami
(al-mukhala’, yang diKhulu’), isteri (al-mukhtali’ah, yang mengKhulu’),
shigat Khulu’ dan iwadh, atau uang tebusan, uang ganti. Menurut Jumhur
ulama, Iddah wanita yang mengajukan Khulu’ sama dengan Iddahnya wanita
yang ditalak yaitu tiga kali quru’, tiga kali haid, Pendapat kedua
mengatakan bahwa Iddahnya adalah satu kali haid. Pendapat ini adalah
pendapatnya Utsman bin Affan, Ibn Umar, Ibn Abbas, Ibn Taimiyyah dan
yang lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar