15 (Limabelas) Adab Berkendaraan dan Berjalan
Posted by Admin pada 11/03/2010
Di antara adab-adab berkendaraan dan berjalan:
1. Larangan Angkuh Ketika Berjalan:
Angkuh
ketika berjalan termasuk dari sifat-sifat tercela yang tumbuh dari
kesombongan dan ‘ujub terhadap diri sendiri. Dan seorang yang beriman di
antara sifat-sifatnya adalah tawadhu’ (rendah diri) dan al-istikanah
(tenang) tidak ada sifat al-kibr (sombong) dan al-ghathrasah
(menonjolkan diri).
Adab Berkendaraan Dan Berjalan
Allah Ta’ala berfirman:
“Dan
Dialah Dzat yang telah menciptakan segala sesuatu bagi kalian slaing
berpasang-pasangan, da menjadikan bagi kalian apa yang kalian kapal,
binatang ternak dan tunggangan yang kalian kendarai. Agar kalian duduk
diatas punggungnya kemudian kalian mengingat nikmat Rabb kalian apabila
kalian telah brada diatasnya, dan kalian mengucapkan: Subhanallahi
alladzii sakhkhara lanaa hadzaa wa maa kunnaa lahu muqribiin wa innaa
ilaa Rabbinaa lamunqalibuun – Maha Suci Rabb kami yang telah menundukkan
semua ini bagi kami, padahal kami sebelumnya tidak sanggup untuk
menguasainya. Dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Rabb kami.” ( Az-Zukhruf : 12-13 ).
Di antara adab-adab berkendaraan dan berjalan :
1. Larangan Angkuh Ketika Berjalan:
Angkuh
ketika berjalan termasuk dari sifat-sifat tercela yang tumbuh dari
kesombongan dan ‘ujub terhadap diri sendiri. Dan seorang yang beriman di
antara sifat-sifatnya adalah tawadhu’ (rendah diri) dan al-istikanah
(tenang) tidak ada sifat al-kibr (sombong) dan al-ghathrasah
(menonjolkan diri).
Sifat
al-kibr (sombong) adalah selendang Allah maka barang siapa yang
merampasnya niscaya Allah akan mengadzabnya. Dari Abu Sa’id Al-khudri
dan Abu Hurairah radhiallahu ‘anhuma, keduanya mengatakan: Bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kemuliaan adalah
sarung Allah, dan kesombongan adalah selendangnya, barang siapa yang
merampasnya dariku niscaya saya akan mengadzabnya”. [ HR. Muslim (2620) dan lafazh hadits ini lafazh beliau, Ahmad ((8677) Abu Daud (4090) dan Ibnu Majah (4173)]
Dan Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ketika
seseorang berjalan dengan kain hullah yang mengagumkan dirinya
rambutnya tersisir rapi terurai sampai pada telinganya. Apabila Allah
membenamkannya maka dia akan berteriak terus sampai hari kiamat”. [HR. Al-Bukhari (5789) Muslim (2088) Ahmad (7574) dan Ad-Darimi (437)]
Keangkuhan
tidaklah ada kecuali pada tempat-tempat peperangan untuk membuat marah
musuh-musuh, sebagaimana Abu Dujanah lakukan ketika menginkatkan imamah
–miliknya- yang berwarna merah kemudian mulailah dia berjalan dengan
angkuh diantara dua barisan yang saling berhadapan. Maka ketika
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya berjalan dengan
angkuh, beliau bersabda, “Sesungguhnya jalan seperti itu adalah jalan yang Allah murkai kecuali pada tempat seperti ini”.
2. Cara Jalan Yang Paling Baik Dan Yang Paling Sempurna:
Ibnul
Qayyim Al-Jauziyah berkata, “Apabila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam berjalan takaffa’a takaffu’an (1) (condong ke depan) [Muslim
(2330)]. Beliau adalah manusia yang paling cepat jalannya, dan yang
paling baik dan paling tenang.
Abu
Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata saya tidak pernah orang yang paling
gagah dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, seakan-akan
matahari berjalan di wajahnya, dan saya tidak pernah melihat seseorang
yang paling cepat jalannya daripada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, seakan akan bumi terlipat untuknya, dan sesungguhnya kami
mengusahakan diri-diri kami dan sesungguhnya beliau tidak terlihat
memaksakannya. [At-Tirmidzi (3647)]
Dari
Ali bin Abi Thalib berkata : Apabila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam berjalan beliau condong ke depan seakan-akan beliau turun dari
shabab (2) [Dan di dalam riwayat Abu Daud (seakan akan beliau yahwi
(jatuh) di dalam shabab) (4864)]
Sekali waktu Ali bin Thalib pernah berkata, “Apabila beliau berjalan beliau taqla’ (3) (turun ke bawah).” [At-Tirmidzi (3638)]
Saya
katakan: Makna At-Taqallu’ : ketinggian pada tanah secara keseluruhan,
sebagaimana seseorang yang miring dari bagian daerah yang curam/miring.
Jalan seperti ini adalah jalannya para ulul azmi (orang-orang yang punya
azam/tekad) dan mempunyai himmah (keinginan yang kuat) dan keberanian,
dan jalan seperti ini adalah jalan yang paling sempurna dan lebih
memberikan ketenangan pada anggota badan, dan yang lebih jauh dari jalan
seorang yang marah, kehinaan dan lemas. [Zaad Al-Ma'aad (1/167-177)]
Faedah: Ibnul Qayyim Al-Jauziyah menyebutkan di dalam Al-Hadyi ada sepuluh macam cara berjalan :
Yang pertama : yang
paling baik dan yang paling sempurna adalah berjalan at-takaffu’ dan
at-taqallu’, seperti keadaan orang yang turun dari ash-shabab (tempat
yang miring/curam), dan cara jalan ini adalah cara jalannya Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kedua :
berjalan dengan gelisah dan sempoyongan laksana seekor onta yang
gelisah. Cara jalan ini cara jalan yang tercela –juga- yang menunjukkan
kekurangan akal orang yang melakukannya. Terlebih lagi apabila orang
tersebut sering menengok ke kiri dan ke kanan ketika berjalan.
Ketiga :
Berjalan lemas dan berjalan selangkah demi selangkah, seumpama sepotong
kayu yang diangkut, dan cara jalan ini adalah cara jalan yang tercela
dan jelek.
Keempat : Jalan dengan dipercepat
Kelima : ar-ramal, cara jalan yang paling cepat disertai langkah yang saling berdekatan, dan disebut juga dengan al-khabab.
Keenam : an-naslaan, adalah jalan sambil berjinjit kecil yang tidak mengganggu orang yang berjalan.
Ketujuh : al-khauzali, adalah jalan berlenggak-lenggok, yaitu jalan yang disebut ada padanya kelemah-lembutan dan kebanci-bancian.
Kedelapan : al-qahqaraa, yaitu jalan ke belakang.
Kesembilan : al-jamzaa, yaitu orang berjalan sambil melompat.
Kesepuluh : at-tabakhtur, yaitu jalan orang yang ‘ujub dan sombong [(1/167-169)]
3. Makhruhnya Berjalan Dengan Satu Sandal. [Telah berlalu pembahsaan tentang hal ini pada bab adab berpakaian dan berhias]
4. Termasuk Sunnah Bertelanjang Kaki Kadang-Kadang.
Berdasarkan
perkataan Fudhalah radhiallahu ‘anhu, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam memerintahkan kami agar kadang-kadang bertelanjang kaki (ketika
berjalan).” [HR. Ahmad (23449), Abu Daud (4160) Al-Albani
menshahihkannya]
Dan
di dalam hadits Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma, tentang ziarahnya Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Sa’ad bin Ubadah, beliau berkata : ”
Ketika Nabi berdiri kami ikut berdiri bersama beliau dan kami
sekitar sepuluh orang tidak ada pada kami sandal tidak pula khuf dan
tutup kepala/kopyah dan tidak pula gamis kami berjalan di atas tanah
yang becek itu….al-hadits”. [HR. Muslim (925)]
Jalan
dengan bertelanjang kaki mengandung hikmah untuk menghilangkan
kebiasaan seseorang merasakan nikmat dengan seringnya bersandal. (4)
5. Pemilik Kendaraan Lebih Berhak Berada di bagian Depan kendaraannya:
Barang
siapa yang memiliki sesuatu maka dia lebih berhak atas sesuatu tersebut
dari orang selainnya. dan mengendarai kendaraan yang hidup atau yang
benda mati hukumnya sama, maka pemilik onta atau kuda atau (mobil) lebih
berhak berada di depan kendaraannya dan didahulukan daripada yang
lainnya. Maka tidaklah seseorang mengendarai kendaraannya dibagian depan
kecuali dengan izin pemiliknya.
Hadits Buraidah radhiallahu ‘anhu menjelaskan hal tersebut dan beliau berkata : “Ketika
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berjalan datang seorang
laki-laki berserta keledai, orang itu berkata : wahai Rasulullah
naiklah. Orang itu mundur ke belakang, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam berkata, “ Tidak kamu yang lebih berhak di depan kendaraanmu
dari pada saya kecuali kamu jadikan hal itu untukku “. Orang itu berkata
: Saya telah menjadikannya untukmu, maka beliau pun mengendarainya”.
[HR. At-Tirmidzi (2773) dan dia berkata : "hadits hasan gharib dari
sisi ini". Dan Abu Daud (2573) Al-Albani berkata : "hadits hasan
shahih”]
6. Bolehnya Membonceng Kendaraan Apabila Tidak Memberatkan Kendaraan Tersebut:
Diantara
adab berkendaraan adalah tidak mengapa dua atau tiga orang berkendaraan
pada satu kendaraan selama suatu kendaraan mampu untuk itu, Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam membonceng sebagian sahabat beliau seperti
Mu’adz [Al-Bukhari (2856) Muslim (30)] Usamah [Al-Bukhari (1670)
Musllim (1280)] Al-Fadhl [Al-Bukhari (1513) Muslim (1334)] demikian pula
beliau membonceng Abdullah bin Ja’far dan Al-Hasan atau Al-Husain
bersamaan [Muslim (2428) dan Ahmad (1744)] dan selain dari mereka,
radhiallahu ‘anil jamii’. (5)
7. Makruhnya Menjadikan kendaraan Sebagai Mimbar:
Berkaitan dengan masalah ini diterangkan didalam hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu beliau berkata, “Janganlah
kalian menjadikan punggung-punggung hewan tunggangan kalian sebagai
mimbar-mimbar karena Allah memudahkannya untuk kalian hanya untuk
membawa kalian kepada negeri yang belum pernah kalian capai kecuali
dengan bersusah payah. Dan Allah telah menjadikan untuk kalian bumi maka
di atasnyalah hendaknya kalian menunaikan hajat kalian”. [HR. Abu Daud (2567) dan Al-Albani menshahihkannya]
Maknanya
: Janganlah kalian duduk di punggung-punggung hewan kendaraan dan
kalian berhenti dan kalian berbicara satu sama lain ketika berjual beli
dan selainnya bahkan turunlah dan tunaikanlah hajat kalian kemudian
tunggangilah setelah itu. Sebagimana perkataan Al-Qariy. [‘Aun Al-Ma'bud
: jilid 4 (7/169)]
Dan
janganlah seseorang menyamarkan masalah tersebut dengan dalih
berhentinya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam diatas hewan
tunggangan beliau ketika hajjatul wada’, karena hal itu untuk suatu
mashlahat yang kuat dan hal tersebut tidak terulang-ulang.
Ibnul Qayyim berkata : “Adapun
berhentinya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas hewan
tunggangan beliau ketika hajjatul wada’ dan beliau khutbah di atasnya,
maka hal tersebut bukan termasuk yang terlarang, karena hal tersebut
terjadi karena adanya mashlahat umum pada satu waktu, dan tidak terjadi
terus menerus, dan hewan tunggang pun tidak merasa capek dan berat
sebagaimana didapatkan kepada orang yang terbiasa dengan hal tersebut
bukan dalam rangka ke mashlahat. Bahkan mereka menjadikannya tempat
untuk tinggal dan tempat duduk yang mana seseorang bermunajat di
atasnya, dan tidak turun ke tanah. Hal itu sering terulang dan
berlangsung lama, berbeda dengan khutbah beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam di atas hewan tunggangan beliau agar manusia dapat mendengarkan
khutbah beliau, dan mengajarkan mereka perkara islam dan hukum-hukum
manasik, maka hal tersebut tidak lah terulang dan tidak berlangsung lama
dan mashlahatnya dapat dirasakan seluruh manusia. [Aunul Ma'bud : jilid 4 (7/167)]
Faedah
: (Mobil) tidak dianggap hewan tunggangan dari sisi lamanya orang duduk
di atasnya dan berbicara dengan yang lainnya, karena mobil tersebut
tidak mengalami keberatan dan kecapaian, akan tetapi sepatutnya menjaga
kendaraan lainnya pengguna jalan, karena mengganggu mereka adalah
perkara yang haram dan Allah Ta’ala berfirman:
“Dan
mereka yang menyakiti kaum mukminin laki-laki maupun wanita tanpa
kesalahan yang mereka perbuat, maka sungguh mereka telah menanggung
kedustan dan dosa yang jelas.“ (Al-Ahzab : 58 ).
footnoote
1. Takakaffi : condong ke depan sebagaimana condongnya perahu layar ketika berlayar. (Lisan Al-’Arab : 1/141-142)
2.
As-Shabab : Tashawwubi nahru aw thariq yaitu berada di hudur. Dan di
dalam sifat shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : adalah beliau
turun di shabab yaitu ke tempat yang rendah, dan Ibnu Abbas berkata :
yang beliau maksudnya adalah bahwa beliau kuat badannya, maka apabila
beliau berjalan seakan-akan beliau berjalan di atas bagian depan kakinya
karena kuatnya. (Lisan Al-’Arab : 1/517).
3.
Taqla’ ketika berjalan : berjalan seakan-akan turun ke bawah…..ada yang
mengatakan : maksudnya kekuatan berjalan dan bahwa beliau mengangkat
kedua kakinya dari tanah apabila beliau berjalan dengan menganggkat yang
jauh disertai kekuatan, tidak seperti orang yang berjalan dengan
sombong dan bernikmat-nikmat dan langkahnya saling berdekatan karena hal
itu termasuk jalannya wanita mereka disifatkan dengan hal itu….(Lisan
Al-’Arab : 8/290)
4. Sebagiannya pembahasan telah berlalu di dalam kitab adab berpakaian dan berhias, maka tidak perlu kami ulang lagi.
5.
Dalam perkara ini adanya dalil bahwa membebani kendaraan yang kendaraan
tersebut tidak mampu termasuk perbuatan zhalim, bahkan dapat membawa
kepada membinasakan kendaraan. Dan pada perkara tersebut adanya isyarat
untuk mengetahui sesuatu dengan perasaan, yaitu bahwa membebankan alat
kendaraan di atas kemampuannya dan bebannya yang telah ditetapkan dari
pembuatnya dapat membahayakan kendaraan tersebut dan menyebabkan
kerusakan.
(Diterjemahkan dari kitab Al-Adab karya Fu`ad bin Abdul Azis Asy-Syalhuub)
Di antara adab-adab berkendaraan dan berjalan:
1. Larangan Angkuh Ketika Berjalan:
Angkuh
ketika berjalan termasuk dari sifat-sifat tercela yang tumbuh dari
kesombongan dan ‘ujub terhadap diri sendiri. Dan seorang yang beriman di
antara sifat-sifatnya adalah tawadhu’ (rendah diri) dan al-istikanah
(tenang) tidak ada sifat al-kibr (sombong) dan al-ghathrasah
(menonjolkan diri).
Adab Berkendaraan Dan Berjalan
Allah Ta’ala berfirman:
“Dan
Dialah Dzat yang telah menciptakan segala sesuatu bagi kalian slaing
berpasang-pasangan, da menjadikan bagi kalian apa yang kalian kapal,
binatang ternak dan tunggangan yang kalian kendarai. Agar kalian duduk
diatas punggungnya kemudian kalian mengingat nikmat Rabb kalian apabila
kalian telah brada diatasnya, dan kalian mengucapkan: Subhanallahi
alladzii sakhkhara lanaa hadzaa wa maa kunnaa lahu muqribiin wa innaa
ilaa Rabbinaa lamunqalibuun – Maha Suci Rabb kami yang telah menundukkan
semua ini bagi kami, padahal kami sebelumnya tidak sanggup untuk
menguasainya. Dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Rabb kami.” ( Az-Zukhruf : 12-13 ).
Di antara adab-adab berkendaraan dan berjalan :
1. Larangan Angkuh Ketika Berjalan:
Angkuh
ketika berjalan termasuk dari sifat-sifat tercela yang tumbuh dari
kesombongan dan ‘ujub terhadap diri sendiri. Dan seorang yang beriman di
antara sifat-sifatnya adalah tawadhu’ (rendah diri) dan al-istikanah
(tenang) tidak ada sifat al-kibr (sombong) dan al-ghathrasah
(menonjolkan diri).
Sifat
al-kibr (sombong) adalah selendang Allah maka barang siapa yang
merampasnya niscaya Allah akan mengadzabnya. Dari Abu Sa’id Al-khudri
dan Abu Hurairah radhiallahu ‘anhuma, keduanya mengatakan: Bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kemuliaan adalah
sarung Allah, dan kesombongan adalah selendangnya, barang siapa yang
merampasnya dariku niscaya saya akan mengadzabnya”. [ HR. Muslim (2620) dan lafazh hadits ini lafazh beliau, Ahmad ((8677) Abu Daud (4090) dan Ibnu Majah (4173)]
Dan Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ketika
seseorang berjalan dengan kain hullah yang mengagumkan dirinya
rambutnya tersisir rapi terurai sampai pada telinganya. Apabila Allah
membenamkannya maka dia akan berteriak terus sampai hari kiamat”. [HR. Al-Bukhari (5789) Muslim (2088) Ahmad (7574) dan Ad-Darimi (437)]
Keangkuhan
tidaklah ada kecuali pada tempat-tempat peperangan untuk membuat marah
musuh-musuh, sebagaimana Abu Dujanah lakukan ketika menginkatkan imamah
–miliknya- yang berwarna merah kemudian mulailah dia berjalan dengan
angkuh diantara dua barisan yang saling berhadapan. Maka ketika
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya berjalan dengan
angkuh, beliau bersabda, “Sesungguhnya jalan seperti itu adalah jalan yang Allah murkai kecuali pada tempat seperti ini”.
2. Cara Jalan Yang Paling Baik Dan Yang Paling Sempurna:
Ibnul
Qayyim Al-Jauziyah berkata, “Apabila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam berjalan takaffa’a takaffu’an (1) (condong ke depan) [Muslim
(2330)]. Beliau adalah manusia yang paling cepat jalannya, dan yang
paling baik dan paling tenang.
Abu
Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata saya tidak pernah orang yang paling
gagah dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, seakan-akan
matahari berjalan di wajahnya, dan saya tidak pernah melihat seseorang
yang paling cepat jalannya daripada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, seakan akan bumi terlipat untuknya, dan sesungguhnya kami
mengusahakan diri-diri kami dan sesungguhnya beliau tidak terlihat
memaksakannya. [At-Tirmidzi (3647)]
Dari
Ali bin Abi Thalib berkata : Apabila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam berjalan beliau condong ke depan seakan-akan beliau turun dari
shabab (2) [Dan di dalam riwayat Abu Daud (seakan akan beliau yahwi
(jatuh) di dalam shabab) (4864)]
Sekali waktu Ali bin Thalib pernah berkata, “Apabila beliau berjalan beliau taqla’ (3) (turun ke bawah).” [At-Tirmidzi (3638)]
Saya
katakan: Makna At-Taqallu’ : ketinggian pada tanah secara keseluruhan,
sebagaimana seseorang yang miring dari bagian daerah yang curam/miring.
Jalan seperti ini adalah jalannya para ulul azmi (orang-orang yang punya
azam/tekad) dan mempunyai himmah (keinginan yang kuat) dan keberanian,
dan jalan seperti ini adalah jalan yang paling sempurna dan lebih
memberikan ketenangan pada anggota badan, dan yang lebih jauh dari jalan
seorang yang marah, kehinaan dan lemas. [Zaad Al-Ma'aad (1/167-177)]
Faedah: Ibnul Qayyim Al-Jauziyah menyebutkan di dalam Al-Hadyi ada sepuluh macam cara berjalan :
Yang pertama : yang
paling baik dan yang paling sempurna adalah berjalan at-takaffu’ dan
at-taqallu’, seperti keadaan orang yang turun dari ash-shabab (tempat
yang miring/curam), dan cara jalan ini adalah cara jalannya Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kedua :
berjalan dengan gelisah dan sempoyongan laksana seekor onta yang
gelisah. Cara jalan ini cara jalan yang tercela –juga- yang menunjukkan
kekurangan akal orang yang melakukannya. Terlebih lagi apabila orang
tersebut sering menengok ke kiri dan ke kanan ketika berjalan.
Ketiga :
Berjalan lemas dan berjalan selangkah demi selangkah, seumpama sepotong
kayu yang diangkut, dan cara jalan ini adalah cara jalan yang tercela
dan jelek.
Keempat : Jalan dengan dipercepat
Kelima : ar-ramal, cara jalan yang paling cepat disertai langkah yang saling berdekatan, dan disebut juga dengan al-khabab.
Keenam : an-naslaan, adalah jalan sambil berjinjit kecil yang tidak mengganggu orang yang berjalan.
Ketujuh : al-khauzali, adalah jalan berlenggak-lenggok, yaitu jalan yang disebut ada padanya kelemah-lembutan dan kebanci-bancian.
Kedelapan : al-qahqaraa, yaitu jalan ke belakang.
Kesembilan : al-jamzaa, yaitu orang berjalan sambil melompat.
Kesepuluh : at-tabakhtur, yaitu jalan orang yang ‘ujub dan sombong [(1/167-169)]
3. Makhruhnya Berjalan Dengan Satu Sandal. [Telah berlalu pembahsaan tentang hal ini pada bab adab berpakaian dan berhias]
4. Termasuk Sunnah Bertelanjang Kaki Kadang-Kadang.
Berdasarkan
perkataan Fudhalah radhiallahu ‘anhu, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam memerintahkan kami agar kadang-kadang bertelanjang kaki (ketika
berjalan).” [HR. Ahmad (23449), Abu Daud (4160) Al-Albani
menshahihkannya]
Dan
di dalam hadits Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma, tentang ziarahnya Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Sa’ad bin Ubadah, beliau berkata : ”
Ketika Nabi berdiri kami ikut berdiri bersama beliau dan kami
sekitar sepuluh orang tidak ada pada kami sandal tidak pula khuf dan
tutup kepala/kopyah dan tidak pula gamis kami berjalan di atas tanah
yang becek itu….al-hadits”. [HR. Muslim (925)]
Jalan
dengan bertelanjang kaki mengandung hikmah untuk menghilangkan
kebiasaan seseorang merasakan nikmat dengan seringnya bersandal. (4)
5. Pemilik Kendaraan Lebih Berhak Berada di bagian Depan kendaraannya:
Barang
siapa yang memiliki sesuatu maka dia lebih berhak atas sesuatu tersebut
dari orang selainnya. dan mengendarai kendaraan yang hidup atau yang
benda mati hukumnya sama, maka pemilik onta atau kuda atau (mobil) lebih
berhak berada di depan kendaraannya dan didahulukan daripada yang
lainnya. Maka tidaklah seseorang mengendarai kendaraannya dibagian depan
kecuali dengan izin pemiliknya.
Hadits Buraidah radhiallahu ‘anhu menjelaskan hal tersebut dan beliau berkata : “Ketika
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berjalan datang seorang
laki-laki berserta keledai, orang itu berkata : wahai Rasulullah
naiklah. Orang itu mundur ke belakang, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam berkata, “ Tidak kamu yang lebih berhak di depan kendaraanmu
dari pada saya kecuali kamu jadikan hal itu untukku “. Orang itu berkata
: Saya telah menjadikannya untukmu, maka beliau pun mengendarainya”.
[HR. At-Tirmidzi (2773) dan dia berkata : "hadits hasan gharib dari
sisi ini". Dan Abu Daud (2573) Al-Albani berkata : "hadits hasan
shahih”]
6. Bolehnya Membonceng Kendaraan Apabila Tidak Memberatkan Kendaraan Tersebut:
Diantara
adab berkendaraan adalah tidak mengapa dua atau tiga orang berkendaraan
pada satu kendaraan selama suatu kendaraan mampu untuk itu, Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam membonceng sebagian sahabat beliau seperti
Mu’adz [Al-Bukhari (2856) Muslim (30)] Usamah [Al-Bukhari (1670)
Musllim (1280)] Al-Fadhl [Al-Bukhari (1513) Muslim (1334)] demikian pula
beliau membonceng Abdullah bin Ja’far dan Al-Hasan atau Al-Husain
bersamaan [Muslim (2428) dan Ahmad (1744)] dan selain dari mereka,
radhiallahu ‘anil jamii’. (5)
7. Makruhnya Menjadikan kendaraan Sebagai Mimbar:
Berkaitan dengan masalah ini diterangkan didalam hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu beliau berkata, “Janganlah
kalian menjadikan punggung-punggung hewan tunggangan kalian sebagai
mimbar-mimbar karena Allah memudahkannya untuk kalian hanya untuk
membawa kalian kepada negeri yang belum pernah kalian capai kecuali
dengan bersusah payah. Dan Allah telah menjadikan untuk kalian bumi maka
di atasnyalah hendaknya kalian menunaikan hajat kalian”. [HR. Abu Daud (2567) dan Al-Albani menshahihkannya]
Maknanya
: Janganlah kalian duduk di punggung-punggung hewan kendaraan dan
kalian berhenti dan kalian berbicara satu sama lain ketika berjual beli
dan selainnya bahkan turunlah dan tunaikanlah hajat kalian kemudian
tunggangilah setelah itu. Sebagimana perkataan Al-Qariy. [‘Aun Al-Ma'bud
: jilid 4 (7/169)]
Dan
janganlah seseorang menyamarkan masalah tersebut dengan dalih
berhentinya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam diatas hewan
tunggangan beliau ketika hajjatul wada’, karena hal itu untuk suatu
mashlahat yang kuat dan hal tersebut tidak terulang-ulang.
Ibnul Qayyim berkata : “Adapun
berhentinya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas hewan
tunggangan beliau ketika hajjatul wada’ dan beliau khutbah di atasnya,
maka hal tersebut bukan termasuk yang terlarang, karena hal tersebut
terjadi karena adanya mashlahat umum pada satu waktu, dan tidak terjadi
terus menerus, dan hewan tunggang pun tidak merasa capek dan berat
sebagaimana didapatkan kepada orang yang terbiasa dengan hal tersebut
bukan dalam rangka ke mashlahat. Bahkan mereka menjadikannya tempat
untuk tinggal dan tempat duduk yang mana seseorang bermunajat di
atasnya, dan tidak turun ke tanah. Hal itu sering terulang dan
berlangsung lama, berbeda dengan khutbah beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam di atas hewan tunggangan beliau agar manusia dapat mendengarkan
khutbah beliau, dan mengajarkan mereka perkara islam dan hukum-hukum
manasik, maka hal tersebut tidak lah terulang dan tidak berlangsung lama
dan mashlahatnya dapat dirasakan seluruh manusia. [Aunul Ma'bud : jilid 4 (7/167)]
Faedah
: (Mobil) tidak dianggap hewan tunggangan dari sisi lamanya orang duduk
di atasnya dan berbicara dengan yang lainnya, karena mobil tersebut
tidak mengalami keberatan dan kecapaian, akan tetapi sepatutnya menjaga
kendaraan lainnya pengguna jalan, karena mengganggu mereka adalah
perkara yang haram dan Allah Ta’ala berfirman:
“Dan
mereka yang menyakiti kaum mukminin laki-laki maupun wanita tanpa
kesalahan yang mereka perbuat, maka sungguh mereka telah menanggung
kedustan dan dosa yang jelas.“ (Al-Ahzab : 58 ).
footnoote
1. Takakaffi : condong ke depan sebagaimana condongnya perahu layar ketika berlayar. (Lisan Al-’Arab : 1/141-142)
2.
As-Shabab : Tashawwubi nahru aw thariq yaitu berada di hudur. Dan di
dalam sifat shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : adalah beliau
turun di shabab yaitu ke tempat yang rendah, dan Ibnu Abbas berkata :
yang beliau maksudnya adalah bahwa beliau kuat badannya, maka apabila
beliau berjalan seakan-akan beliau berjalan di atas bagian depan kakinya
karena kuatnya. (Lisan Al-’Arab : 1/517).
3.
Taqla’ ketika berjalan : berjalan seakan-akan turun ke bawah…..ada yang
mengatakan : maksudnya kekuatan berjalan dan bahwa beliau mengangkat
kedua kakinya dari tanah apabila beliau berjalan dengan menganggkat yang
jauh disertai kekuatan, tidak seperti orang yang berjalan dengan
sombong dan bernikmat-nikmat dan langkahnya saling berdekatan karena hal
itu termasuk jalannya wanita mereka disifatkan dengan hal itu….(Lisan
Al-’Arab : 8/290)
4. Sebagiannya pembahasan telah berlalu di dalam kitab adab berpakaian dan berhias, maka tidak perlu kami ulang lagi.
5.
Dalam perkara ini adanya dalil bahwa membebani kendaraan yang kendaraan
tersebut tidak mampu termasuk perbuatan zhalim, bahkan dapat membawa
kepada membinasakan kendaraan. Dan pada perkara tersebut adanya isyarat
untuk mengetahui sesuatu dengan perasaan, yaitu bahwa membebankan alat
kendaraan di atas kemampuannya dan bebannya yang telah ditetapkan dari
pembuatnya dapat membahayakan kendaraan tersebut dan menyebabkan
kerusakan.
(Diterjemahkan dari kitab Al-Adab karya Fu`ad bin Abdul Azis Asy-Syalhuub)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar