Rok
Mini “Dimata Lelaki”
Soal rok mini ini memang menggelitik.
Saya sendiri di dalam dilema
yang
besar. Alasannya, pertama karena saya laki-laki. Kedua, karena saya belum
pernah
memakai rok mini. Sebagai orang berpendidikan, saya khawatir perspektif
saya
terhadap rok mini ini menjadi sangat subyektif, dipenuh asumsi, dan ngawur.
Tapi sebenarnya saya selalu ingin
mengajukan pertanyaan kepada setiap
pengguna
rok mini atau celana super pendek di area publik demi mendapat sudut
pandang
yang obyektif dari si pemakai agar saya tidak salah sangka:
1. “Mbak-mbak, boleh tau apakah
dengan rok mini yang mbak pakai itu,
saya
atau kami boleh menikmati paha mbak?”
2. “Kalau boleh, apakah mbak memang
sengaja agar kami melihatnya?
atau
malah risih kalau kami melihatnya?”
3. “Atau tolong jelaskan kepada kami,
bagaimana seharusnya kami boleh
menikmati
paha mbaknya biar mbak merasa nyaman dan kita bisa sama-sama
menikmati,
agar saya merasa aman dalam menikmati, dan mbaknya nikmat juga
dilihati?”
Pertanyaan ini sebenarnya penting
untuk ditanyakan sebagai dasar
ilmiah
untuk mengambil kesimpulan, tapi belum kesampaian saya tanyakan sampai
saat
ini. Malu nanyanya. Dan saya memilih untuk menikmati rok mini tersebut
dengan
diam-diam, dengan “etika” yang saya karang sendiri agar tidak berdampak
sosial
yang buruk.
Ada yang bilang ini soal iman. Kalau
iman kuat, rok mini lewat. Saya
kira
setiap orang beriman yang jujur, kalau ditanya pasti menjawab akan timbul
pikiran
bukan-bukan ketika menjumpai perempuan muda berpaha indah memakai rok
mini
atau celana pendek sekali di tempat umum.
Tidak usah jauh-jauh, saya sendiri
akan mengaku beriman, sholat tidak
pernah
lewat, kadang-kadang juga ngaji, tapi rok mini is rok mini, daya
tariknya
sungguh sering melewati daya tangkal iman. Kalau ada yang bilang
“Pikiran
situ saja yang jorok“, duh, ingin sekali saya jawab “Saya sudah susah
payah
membersihkan pikiran dari yang nggak-nggak, tapi situ lewat sambil
menjorok-jorokkan
paha …. memaksa untuk dilihat“.
Soal hak, semua memang punya hak
masing-masing. Selama masih berada
di
tempatnya, hak menjadi sesuatu yang aman bagi dirinya maupun orang lain.
Contohnya merokok. Saya yakin itu
adalah hak. Tidak seorangpun
kecuali
keluarga dan orang-orang yang bergantung hidupnya pada perokok boleh
melarang
orang untuk merokok. Tetapi ketika merokok di tempat umum, hak itu
jadi
tidak aman untuk orang lain. “Tolong ya mas, merokoknya di ruang merokok,
atau
menggunakan helm full face saja biar asapnya tidak terhirup oleh saya“.
Gimana
kalau perokok menjawab, “Ya situ saja jangan hirup asap saya kalau
memang
tidak suka bau asap“. Kira-kira Anda mau langsung mengajak adu hantam
tidak?
Mamainkan musik adalah hak. Tetapi
ketika bertetangga,
genjrang-genjreng
di jam dua pagi di depan rumah orang, kira-kira akan membuat
tidur
orang terganggu tidak? Gimana kalau ketika ditegur si penggitar menjawab
“Tolong
ya Bu, kalau memang tidak suka dengan suara gitar saya, ibu jangan
dengerin
suaranya, gitar-gitar saya kok ibu yang repot“. Kira-kira si ibu akan
melempar
sandal atau tidak? Kalau bermainnya di dalam kamarnya sendiri, di
studio
musik kedap suara, saya kira volume sebesar apapun tidak akan jadi
masalah.
Minimal tidak jadi masalah untuk orang lain.
Sama jadinya dengan rok mini dan hot
pant. Di rumah, rok mini akan
menjadi
sangat asik. Aman, dan nyaman buat semuanya. Apalagi di kamar, tidak
pakai
rok pun akan semakin menambah suasana jadi lebih sesuatu banget Dan,
semua
orang akan merasa happy dan dijamin aman.
Tapi di boncengan sepeda motor, di
busway, di jalanan … duuuh biyung,
please
mbak, bu, kalau sekadar saya yang lihat dijamin akan aman. Karena nafsu
dan
pikiran saya akan saya manage sedemikian rupa sehingga akan hanya meledak
tanpa
melukai Anda. Tapi kalau yang nafsunya meledak itu lelaki yang sedang
sakit
parah jiwanya dan tak tau tempat?
Pemerkosa adalah orang yang sedang
sakit jiwanya. Dan kata orang tua,
mencegah
lebih mudah dan murah dari pada mengobati. Mengobati mereka tetap
harus
dilakukan karena bisa membahayakan orang lain, berapapun biaya material
dan
sosial yang dibutuhkan, termasuk kita memberi makan mereka di penjara
seumur
hidup.
Tapi sambil mengobati, akan lebih
cerdas, mudah, dan murah kalau kita
semua
juga ikut mencegah, salah satunya dengan tidak mengguanakn rok mini di
tempat
umum. Masih banyak pilihan busana yang lain, yang tetap menarik (tanpa
menggoda)
dan pantas.
Cara ini pasti lebih murah sebelum
ada yang menjadi korban lelaki
sakit
jiwa. Kecuali, kalau memang rok mini telah menjadi sumber penghasilan
pengenanya.
Mbak-mbak, ibu-ibu. Sebagai lelaki,
saya selalu mengagumi perempuan.
Dalam
teori saya, perempuan itu setiap inchi kulitnya adalah fashion. Karena
itu,
benang dililit-lilit pun ke beberapa bagian tubuh, sudah seperti keindahan
yang
menyeluruh. Perempuan juga sangat ekspresif. Mereka suka bicara, suka
berdandan,
suka “menunjukkan” keindahan dirinya. Itu memang kodratnya.
Dan sedikit ini komentar lelaki.
Kami-kami ini juga sangat ekspresif.
Tapi
berbeda caranya dengan perempuan. Kami tidak terlalu suka bicara, suka
berdandan,
menunjukkan keindahan diri sendiri. Tapi langsung bertindak.
Sebagian yang lain, ekspresinya malah
tidak terlihat sama sekali.
Tetapi
sesuatu di balik celananyalah yang langsung bereaksi.
Maka, seperti Bang Napi bilang,
kejahatan terjadi bisa bukan karena
niat
pelakunya, tetapi ketika ada kesempatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar